iklan

Sabtu, 28 Agustus 2010

Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" : Tataran Kesempurnaan Manusia

karya Sri Sultan Hamengku Buwana X

Sakral, hening serta magis mendadak menyelimuti Bangsal Kencono, sesaat para pengetuk gamelan perlahan memainkan gending Ladrang Prabu Anom dalam mengiringi sembilan penari putri yang melangkah tak kalah lambannya memasuki sayap Bangsal Kencono. Dalam gemulai para penari mulai merunduk mengambil posisi sembahan, perlambang manusia menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta dan melakukan sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa Keraton.

Gerak merendahkan bahu, dagu ditarik, pergelangan tangan gemulai sambil sesekali menghentak mengibaskan selendang - menciptakan tegangan daya ekspresi dalam tubuh penari menjadi karakteristik Tari Bedhaya. Tarian putri Jawa klasik yang adiluhung, halus, luhur - bercerita tentang legenda, babad ataupun sejarah.

Bagai bidadari, paras sembilan penari hampir serupa. Ayu, anggun dan bersinar - dalam balutan dan Goresan wajah khas mempelai putri pengantin Jawa. Alur komposisi rias paes ageng dimulai pada dahi yang diberi paesan berwarna hitam. lapisan garis prada (emas) mengelilingi mempertegas garis luar paesan. Tak luput Wajikan ditengah dahi, bentukan alis menjangan ranggah, hingga rambut tergulung kembang melati rangkai.

Balutan busana dodot berupa kain bermotif cinde dan kampuh berwarna semen berpadu dengan kilau kalung susun serta plat bahu menambah sentuhan pada lengan bagian atas, sedang pada daun telinga terselip sumping ron dan subang. Seakan rapatnya dodot-an tak membatasi gerak tari selama satu jam tanpa henti, Gerak-gerak lengkung terus mengalir (mbanyu mili) membuat formasi berubah-ubah menjadikan alur cerita yang apik.

Tak melulu gemulai, adegan perang dalam tempo tinggi membuat dua orang penari dengan setengah berlari saling mencoba menghunuskan keris. Perang yang dijadikan simbol dari pergolakan batin manusia dalam menentukan pilihan kebaikan atau keburukan, meredam hawa nafsu, harus rendah hati, jujur dalam ucapan dan tindakan yang diwujudkan melalui sosok Harjuna.

Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana X kali ini menjadi garapannya yang ketiga. Karya Perdana beliau Tahun 1997 berjudul "Arjuna Wiwaha". Di Tahun 2004 bertepatan dengan peringatan Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai pahlawan nasional terciptalah "Amurwo Bumi" yang menjadi wujud penghormatan beliau kepada ayahnya (Sri Sultan Hamengku Buwana IX). Dibantu R Riya Kusumaningrat (RAy Sri Kadaryati) selaku penata tari senior yang sekaligus mendapat Dhawuh dari Sri Sultan untuk menggarap tari bedaya ini, proses pencarian gerak diawali dengan menerjemahkan sinopsis cerita yang ditulis langsung oleh Sri Sultan.

Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" menceritakan tentang tokoh Harjuna yang menurut anggapan Sri Sultan bukanlah tokoh yang sering gonta-ganti pasangan, melainkan ksatria sejati yang berjuluk lananging jagad wujud nyata manusia yang sudah menuju tataran sempurna yang bertugas "memayu hayuning bawana", ksatria yang waskitha (mengetahui kejadian yang belum terjadi) hingga pantas menjadi teladan bagi para satria dan manusia biasa.

Harjuna adalah sejatining satriya, contoh manusia sempurna yang dalam menjalani kehidupannya dengan mengedepankan tiga hal: Tirta Martini; sumber air kehidupan manusia "banyu penguripan" menjadi inti daya air yang berada di tubuh manusia (sperma). Tirta Kamandanu; Banyu wiji tempat/wadah sperma lan madzi (indung telur) manusia, awal mula sperma dan indung telur bertemu pada saat suami istri melakukan persetubuhan. Terakhir, Tirta Prawita Sari; dengan menyatunya tirta martani dan tirta kamandanu didalam tubuh manusia (istri) akan menumbuhkan kekuatan, cahaya wibawa terpancar. Dengan diawali bahwa manusia harus selalu ingat, tahu dan mengkaji setiap peristiwa (kenyataan) maka manusia akan mendapatkan karomah keghoiban, hingga manusia akan menjadi "minyak wewadosing jagad" (terang bagi dunia).

Bedhaya bila diwujudkan dalam kehidupan manusia dapat diartikan sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan planet-planet dalam kehidupan alam semesta dan lambang sembilan lubang hawa dalam tubuh manusia sebagai kelengkapan hidup atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai babadan hawa sanga yaitu; lubang dikedua mata, dua buah lubang hidung , satu mulut, dua buah kuping, satu lubang kemaluan dan satu lubang pelepasan.

Menurut masyarakat Jawa sembilan unsur lubang hawa inilah yang memegang kendali dalam kehidupan manusia dan bisa mengakibatkan berbagai masalah jika tidak dijaga dan dikendalikan dengan baik. Pesan yang tersampaikan bahwa manusia diharapkan mampu berserah diri, tawakal dan selalu melakukan introspeksi diri dengan melakukan perenungan, tapa/samadi dan berdialog dengan Yang Maha Kuasa.

Gerak Tari Bedhaya Harjuna Wijaya yang sarat muatan nilai simbolik dan filosofi kawruh joget Mataram, menarik benang merah akan keterkaitan pada kehidupan didunia dan lebih berorientasi kepada pemahaman diri sendiri, perenungan diri antara manusia sebagai pribadi individual dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hidup harus dilihat sebagai perjuangan bukan hanya dijalani tanpa arti.

Tari Bedhaya memandu kita dalam menentukan pilihan kebaikan atau keburukan, meredam hawa nafsu, harus rendah hati, jujur dalam ucapan dan tindakan. Menuju tataran manusia yang sempurna meski tak sesempurna tokoh Harjuna.

Teks:www.indonesiaculture.net/ Sir Kuncoro

Senin, 23 Agustus 2010

Cerita Papermoon dari Singapura



Papermoon Puppet Theatre, kelompok teater boneka Jogja ini baru saja pulang dari liburan di Singapore. Liburan?? Haha.. tentu saja bukan. Mereka diundang untuk mengikuti Yfest 2010 yang diselenggarakan oleh Esplanade Theatre on The Bay, Singapura. Dalam Yfest 2010 ini Esplanade Theatre mengundang Papermoon untuk menjalankan sebuah proyek residensi.

Papermoon berangkat dengan tim terdiri dari Ria (Direktur Artistik), Iwan (Penata Artistik), Octo dan Anton Grewo (Pewujud Boneka), Gea (Perancang Kostum) dan Yennu (Penata Musik). Selama hampir satu bulan Pappermoon tinggal di singapura dan memfasilitasi workshop teater boneka untuk remaja Singapura yang dijadwalkan 29 Juli-12 Agustus 2010.



Adalah 25 mahasiswa Jurusan Interactive Media Design dari Institute of Technical Education Tampines, Singapura yang menjadi peserta workshop selama sekitar 2,5 pekan ini. Di antara banyak hal yang unik dan menantang adalah bahwa peserta bukan berasal dari komunitas teater atau seni lainnya, bahkan hampir semua mengaku belum pernah terlibat dalam pementasan apapun. Justru karenanya, antusiasme peserta dan fasilitator (Papermoon) menjadi sangat “hangat”. Workshop berakhir dengan 3 hari pementasan 13-15 Agustus di komplek Esplanade Bay Theatre.



Cerita yang dirangkai mahasiswa pendidikan ini juga unik. Mereka menyusun cerita tentang pasangan kaya raya yang memiliki supermall di seluruh penjuru dunia. Mereka menjual apa saja, bahkan presiden, planet dan pesawat luar angkasa pun di jual. Setiap hari semua dagangannya laku. Tetapi, tanpa disadari barang-barang dagangan itu pun menghasilkan sampah sisa-sisa kemasan dan sebagainya. Jadilah tumpukan sampah itu sarang kecoa. Akhirnya mereka disibukkan oleh usaha melenyapkan kecoa-kecoa itu. Sampai kemudian, gerombolan keluarga cacing muncul memakan semua barang termasuk tumpukan uang-uang mereka.

Pertunjukan diakhiri dengan sajian tari kecoa. Mereka hendak menghibur sang pasangan kaya ini sekaligus menyadarkan bahwa uang bukanlah segalanya, sementara teman-teman yang hebat adalah harta yang lebih tak ternilai.

Workshop ini telah memberikan "dunia" baru bagi mahasiswa IDM ITE Tampines dan tentu saja Papermoon. Semoga petualangan mereka tak pernah habis. Sukses untuk Papermoon dan mahasiswa IDM ITE Tampines, sukses buat teater boneka dan seni pertunjukan dunia.



sumber : http://papermoon-puppet.blogspot.com

Minggu, 25 Juli 2010

Daftar Pemenang Festival Titer Jogja 2010

Festival Titer Jogja 2010 telah selesai digelar. 5 kelompok ambil bagian dalam perhelatan yang diprakarsai Taman Budaya Yogyakarta dan Yayasan Umar Kayam ini. sejak 15 Juli sampai 22 Juli 2010, kelima kelompok ini tampil bergiliran dengan mengambil tempat sesuai dengan konsep dan manajemen mereka sendiri.

15 Juli, Teater Gajah Mada mementaslan LENG di Gelanggang Mahasiswa UGM
17 Juli, Teater Kulon Progo mementaskan Umang-umang di sebuah desa di wilayah Kulon Progo
18 Juli, Teater Amarta mementaskan Bayang-bayang Bambu di Kersan Art Space
21 Juli, Komumitas SLEnK mementaskan LENG di Bale Budaya Samirono
22 Juli, Teater Payung mementaskan LENG di pasar Imogiri lama.

Berikut adalah hasil dari penilaian dewan Juri

1. Penata Artistik Potensial diraih oleh Teater Kulon Progo
2. Aktor Potensial diraih oleh Yuniawang Setyadi, Teater Gajah Mada
3. Aktris Potensial diraih oleh Candra Maulida, Komunitas SLEnK
4. Sutradara Potensial diraih oleh Daru Murdopo, Komunitas SLEnK
5. Manajemen Produksi Potensial diraih oleh Agus, Teater Payung
6. Penyaji Potensial diraih oleh Komunitas SLEnK

penghargaan tersebut dimaksudkan untuk semakin merangsang semangat kreativitas di kalangan kelompok-kelompok peserta FTJ dan ini diharapkan menular pada kelompok lain yang tidak berpartisipasi dalam FTJ.

rangkaian FTJ masih menyisakan satu agenda yaitu Artist Talk. acara ini memberi ruang pada masing-masing sutradara peserta FTJ untuk mendiskusikan proses kreatif mereka satu sama lain. diharapkan forum ini meningkatan budaya diskusi dan saling asah antar seniman muda di Yogyakarta.

Kamis, 22 Juli 2010

[minggiiiiir sanaaaaa.....!!! ] LENG...

* Catatan dari menonton pertunjukan LENG oleh Komunitas SLEnK.
** oleh Alfia Inayati


"Hallo.....eeeh, ke Mall yuk cinnnnn.....diskon bo'....150% ."

Sms, telepon atau mungkin ajakan langsung dengan kalimat kurang lebih seperti di atas adalah ajakan yang mendominasi benak kaum urban abad millenia. Tak sebanding dengan ajakan-ajakan ke pentas budaya macam teater, gamelan, wayang, atau bahkan sekedar main-main ngeceng ke perpustakaan [apa yang bisa dilihat di perpus....???]

LENG, sebentuk kata yang berkonotasi kasar tersebut, adalah judul sebuah lakon sandiwara bahasa Jawa yang dipentaskan oleh Komunitas SLENK [Suka Lelangen Edining Kabudayan]. Bertempat di Bale Budaya Samirono, naskah LENG yang ditulis oleh Bambang Widoyo SP, disutradarai oleh Daru Murdopo dengan ilustrasi musik oleh Sugito HS benar-benar mengemas hiburan rakyat serakyat-rakyatnya. Pementasan tergelar terbuka dengan menyisakan sedikit ruang untuk lesehan [yang paling dekat dengan pemain], dan barisan kursi-kursi plastik di bagian halaman bale.Dengan sumbangan sukarela, penonton bebas datang dan menonton dari aneka sudut dengan aneka pose dan kostum,sangat berbeda dibandingka pementasan di ruangan berpendingin dengan kursi-kursi empuk yang berharga mulai puluhan hingga ratusan ribu per-tiket masuknya dan memberikan batasan kasta antara tiket festival dan VIP [bahkan VVIP].

Berbicara mengenai hiburan rakyat,ada hal yang tidak boleh kita sepelekan yaitu misi yang dibawa oleh pementasan tersebut. Sebagaimana nasib dirinya [hiburan rakyat] yang sudah terpinggirkan oleh kapitalisasi ruang publik, LENG mengambil setting tema polah penguasa yang dengan alasan untuk pembangunan perekonomian , ujung-ujungnya hanya mengorbankan rakyat untuk kepentingan pribadi....[tapi saya tidak mau berpanjang kata membahas pemerintah....karena sepertinya PERCUMA..]

Meski begitu, dibalik kegetiran tema yang diusung, selalu ada hal yang menarik dari pementasan tersebut. Munculnya tokoh Bedor, seorang asisten dari tokoh juragan di lakon tersebut, membangkitkan kenangan masa kecil saya tentang kesenian Jula-juli ala Suroboyoan. Semasa SD, melaui televisi hitam putih dengan menggunakan accu sebagai sumber daya listriknya, saya cukup setia dengan siaran komedi jula-juli nya Cak Kholik dari TVRI Stasiun Surabaya.

Dari segi ilustrasi, saya tidak berani berkomentar mengenai gamelan, mengingat minimnya pengetahuan saya tentang gamelan. Di bagian lain, ilusrator menggunakan perangkat pendukung selain gamelan yaitu beberapa mesin ketik manual yang dibunyikan oleh figuran-figuran untuk mengambarkan suasana kota yang sibuk dengan aneka aktivitas kantoran [sambil menunggu guliran pentas, para figuran tersebut sibuk senam jari di atas huruf-huruf mesin tik tersebut].Saya jadi berfikir, di era serba komputer ini, maka mesin ketik menjadi benda yang bernilai seni tinggi. Kemudian ada mesin bor elektrik yang juga diputar terus menerus pada beberapa adegan untuk menambah efek suasana lingkungan yang sibuk dengan aneka proyek bangun membangun.

Barangkali tidak semua dari seluruh penonton yang malam itu, Rabu 21 Juli 2010 memadati halaman Bale Budaya Samirono mengerti keseluruhan isi pementasan sandiwara bahasa Jawa tersebut. Barangkali pula, sepulang dari melihat pementasan tersebut mereka lupa, bahwa bisa jadi esok hari mereka mungkin saja mengalami kejadian yang sama dengan lakon tersebut di dunia nyata, yaitu menjadi penguasa yang sewenang-wenang atau menjadi korban kesewenangan penguasa. Biar sajalah, setidaknya malam itu, para penonton terhibur untuk sejenak melupakan beban hidup yang semakin berat.

Di sini terlihat bahwa Komunitas SLENK benar-benar konsisten dalam melestarikan budaya.Begitulah, geliat kesenian dari para seniman yang tak kunjung padam meski untuk mempersiapkan semua itu,tenaga dan fikiran terkuras habis tanpa jaminan ada imbal balik yang pantas dari kerja keras tersebut.

Saya teringat beberapa tahun silam, bersama tim MGMP Kesenian,menggelar konser musik kolaborasi siswa SMP dengan SMK Musik Yogakarta di pendopo Kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Saya bilang, konser tergelar di pendopo akibat tak mampu membayar gedung pertunjukan berlabel budaya. Sehingga maaf bila saya bilang gedung itu kini melacurkan dirinya. Dari pintu gerbangnya saja seolah sudah terpasang spanduk bertuliskan " hai...minggir kamu yang nggak punya duit nggak usah mentas di sini". Bisa jadi Komunitas SLENK mengalami hal serupa...ketika baru saja parkir di halaman luar sudah mendapat teriakan..."hoiii..minggiiiiir sanaaaaa.....!!! LENK."

Rabu, 14 Juli 2010

TANDA-TANDA dan CINTA TEATER KOMA

Oleh M Ahmad Jalidu

Sebuah halaman parkir yang luas telah lengang. Jam 20.02, saat saya memeriksa jam usai melepas helm dan menaruhnya di atas jok motor. Segera saya bergegas ke front desk di depan pintu Gedung Tribakti Magelang. Malam ini, 13 Juli dan malam kemarin Komunitas Teplok yang dipimpin Yefta Tandiyo, mengundang Teater Koma Jakarta untuk mementaskan lakon Tanda Cinta. Saya terlambat 15 menit kata petugas di tempat pelayanan tiket.

Tanda Cinta ini dimainkan oleh dua tokoh penting dalam perkembangan teater Indonesia 30 tahun terakhir. Tak lain adalah pasangan suami istri Nano Riantiarno dan Ratna Majid Riantiarno, juragannya Teater Koma. Setidaknya hal inilah yang mendorong saya memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi dari Jogja ke Magelang.

Secara umum, saya kagum dan bertepuk tangan dengan ikhlas ketika para penari ilustrasi membungkuk menghadap penonton. Tetapi kesan saya memang tidak begitu istimewa. Barangkali saya memang berharap menonton kemegahan drama musikal yang telah mengibarkan nama Koma. Tetapi tidak saya temukan dalam Tanda Cinta.

Sepasang suami istri dengan adegan rumah dimana pada usia paruh baya seringpula muncul rasa cemburu. Si istri menemukan amplop rahasia di lemari pakaian yang isinya foto-foto gadis kecengan suaminya di masa lalu. Demikian pula suami, menemukan tas berisi foto-foto pria di masa lalu sang istri. Hal ini kemudian menjadi kelucuan yang cukup menyentil ketika masing-masing menanyakan dan memprotes kenapa masih menyimpan barang-barang itu. Dan sayangnya, cukup tidak menarik ketika jawaban keduanya hampir sama, yaitu sudah lama merasa kehilangan barang itu dan sudah melupakannya. Tetapi hal positifnya adalah persoalan ini tidak memancing pertengkaran sebagaimana seringkali ditampilkan dalam sinetron. Sepanjang 2 jam itu, sama sekali tidak ada ajaran untuk menjadi ”pencemburu”.

Kecemburuan
Tetapi kecemburuan, yang sehat tentu saja, memang muncul dan menjadi suguhan verbal yang utama dalam Tanda Cinta. Kecemburuan kepada nasib mereka yang berkali-kali dipanggil pengadilan untuk alasan-alasan yang tidak masuk akal bagi mereka. Sang suami digambarkan sedang penasaran pada keadaan negeri yang carut marut, lalu ia bertanya ”masih adakah cinta di antara kita?” pertanyaan itu ia cetak dalam ribuan kertas, lalu ia tempel di mana-mana dan berharap ada masyarakat yang akan memberikan jawabannya. Namun sayang, ia keburu dipanggil persidangan atas perbuatannya itu. Usai ia kena vonis denda, di rumah ia kembali menggali kecemburuan itu. Ia bercerita kepada penonton bermacam pengalaman interogasi dan pegadilan yang pernah ia lalui. Dalam bagian ini, jelas Nano dan Ratna sedang membeberkan kenyataan sesungguhnya. Di era tahun 80-90an, Teater Koma adalah salah satu kelompok seni yang diawasi ketat dan bahkan kerap dilarang pentas.

Permainan kedua dedengkot ini sangat rapi, meski sekali lagi saya bilang tidak istimewa. Namun kerapian ini tidak kemudian kaku, tetapi sangat lembut dan menembus tanda tanya penonton justru ketika ada bagian entah apa namanya, di mana adegan realisme itu berhenti lalu muncul pria-pria berbaju hitam membawa teplok dan empat perempuan cantik menari tanpa iringan musik kecuali suara-suara yang mereka hasilkan sendiri dari mulut atau tepukan di baju dan tangan serta property. Lalu slide menyorot ke backdrop hitam dan menggoreskan kalimat-kalimat puisi. Persoalan mendasar mengenai betapa cinta seringkali bisa diharapkan menjadi juru damai dan juru tenteram dunia itu terasa cair dalam dialog, tetapi menjadi sangat masif tajam di bagian tarian ini.

Adegan akhir lakon ini menampilkan masa tua sepasang suami istri tersebut. Rupanya pertanyaan sang suami itu tak jua mendapat jawaban. Menjelang istrirahat, suami itu mencoba menanyakan kepada istrinya, dan dijawab dengan kalimat sederhana yang entah kepapa terasa menggetarkan bagi saya. “masih, dari dulu sampai kapanpun, aku selalu mencintaimu.” Dan berangsur adegan ditutup dengan tangis bahagia sang suami. “kita seringkali mencari di tempat yang jauh dan melupakan yang terdekat” demikian kata sang suami yang diperankan Nano. Ya, jawaban itu adalah Tanda adanya Cinta. Meski dalam sebuah kalimat sederhana, tetapi jawaban itu toh hanya bersifat penegasan atas seluruh pegabdian istri puluhan tahun. Dan kini giliran kita menanyakan pada diri kita sendiri, masih adakah cinta untuk jati diri manusia negeri ini?

Generasi Koma.
Selain dua dedengkot ini, Tanda Cinta juga menampilkan Rita Matu Mona, Ohan Adiputra, Alex Fatahillah, Budi Ross dan lain-lain termasuk Subarkah (make up) dan Syaiful Anwar (Skenografer) yang termasuk generasi pendiri Koma sejak 33 tahun lalu. Daya tahan kelompok ini sangat memukau. Di usia 33 tahun, generasi pendiri masih bertahan dan tak habis darah kreatif mereka. Inilah yang justru patut dipelajari seniman daerah dibanding bagaimana kerumitan artistik dan tetek bengeknya.

Sayangnya, pertunjukan ini tidak dihadiri oleh jumlah penonton sebagaimana diharapkan. Sekitar 600 tempat duduk hanya terisi separuhnya saja. Ini pasti kerugian bagi tim produksi Teplok, tetapi kita harus terus berharap, semoga masih ada cinta untuk teater dalam jantung Komunitas Teplok. Kerugian ini ibarat salah paham dan pertengkaran kecil dalam hubungan Cinta, itu tak akan membuat kita menjadi enggan menemui.

2 jam sudah, Koma dan Teplok menyajikan TANDA CINTA mereka pada teater, pada kemanusiaan dan pada anugerah kebersamaan. Pukul 10.30 WIB usai menyapa beberapa teman, dengan hati ceria dan doa dalam hati, saya meluncur kembali ke Jogja. Kali ini lebih santai. Saya tidak mengejar waktu. Saya ingin menikmati perjalanan. Tuhan, santunilah mereka yang menyantuni teater Indonesia. Batin saya menggema.

Minggu, 27 Juni 2010

Catatan Menyoal Orkestra di Indonesia

Oleh: Roy Thaniago

DINAMIKA kehidupan orkestra di Indonesia makin riuh saja. Misalnya saja, dalam minggu ini berturut-turut ada tiga pagelaran konser orkestra (yang saya ketahui) digelar di Jakarta – mungkin ada juga di kota lain. Ada Michael Cousteau dan The Nusantara Symphony Orchestra (10/6), St. Theresia School Orchestra Jr. (12/6), dan Jakarta Simfonia Orchestra (12/6). Daftar ini akan tambah panjang jika turut disertakannya agenda orkestra yang sudah dan akan digelar di Indonesia 1 tahun ke belakang dan ke depan. Namun, bukannya semringah, keriuhan ini malah menerbitkan banyak pertanyaan di kepala.

Di sisi lain, terbit pula pertanyaan ketika melihat generasi muda yang berorkestra mulai memperlihatkan geliatnya. Geliat anak muda yang bergiat dalam kelompok orkestra ini tidak bisa dianggap remeh. Kehadiran mereka tidak bisa disepelekan. Pasalnya ada yang mereka devosikan di dalamnya: waktu, uang, cita-cita, dan gaya hidup. Mereka ini yang nantinya membawa arah musik barat di Indonesia: tetap tidak berpribadi seperti yang terjadi sekarang pada orkestra (yang katanya) profesional, atau mengembalikan fungsi orkes, yaitu peran kesenian dalam masyarakatnya?

Sedikitnya 7-10 kelompok orkestra remaja terbentuk dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Kebanyakan mereka lahir dari institusi pendidikan. Orkes remaja ini ada karena kegiatan ekstrakurikuler yang menggantikan posisi marching band yang dahulu sangat populer. Pada kelompok lain, kurikulum yang ada, misalnya di Sekolah Menengah Musik atau jurusan musik di perguruan tinggi, turut berperan dalam menciptakan iklim bermusik lewat orkes.

Orkestra yang merupakan produk musik barat ini sudah ada di Indonesia sejak lama lewat aktivitas para misionaris dan kolonialis. Musik barat bertumbuh pesat di Batavia ketika Thomas Stamford Raffles menjabat gubernur (1811-1816). Ketika itu Raffles ingin agar warga Eropa yang berada di tanah jajahan tetap melakukan aktivitas budaya layaknya di tanah air sendiri. Maka segala bentuk kebudayaan dibawa, termasuk nilai-nilai tata krama, etiket, dan musiknya. Semboyan Batavia ketika itu: Keindahan, Musik, dan Anggur.

Era 1900-an beberapa kelompok orkestra di Jakarta yang tercatat di antaranya adalah Batavia Philharmonic Orchestra (1942), Orkes Radio Jakarta (1950), Orkes Studio Jakarta (1950), Orkes Simfoni Jakarta (1978), Nusantara Symphony Orchestra (1988), dan Twilite Orchestra (1991). Sementara itu, di periode 90-an kelompok orkes milik institusi pendidikan seperti Orkes Simfoni Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Mahawaditra dari Universitas Indonesia juga aktif namun dalam wilayah terbatas.

Alibi konyol

Perjalanan panjang orkestra di Indonesia tampaknya tidak membuat panjang dan melebar pula wilayah eksplorasinya. Lahirnya banyak kelompok orkestra tidak membuat perubahan apa-apa yang berarti bagi identitas musik barat di Indonesia atau daya apresiasi masyarakat terhadap musik. Yang menonjol adalah bersliwerannya alibi konyol dan komodifikasi musik yang sedemikian hebat.

Misal, penggiat orkestra sering kali larut dalam romantisme seperti halnya yang terjadi pada kesenian tradisi. Hal ini ditunjukkan dengan alibi menjunjung tinggi orkes sebagai produk budaya yang adiluhung sehingga perlu diperkenalkan dan dilestarikan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, memang sampai batas mana orkes mau diperkenalkan? Kalau akhirnya sudah dikenal dan lestari, lantas mau apa? Apakah misi orkes menjadi selesai ketika tujuan absurd, tidak membumi, dan penuh romantisasi ini genap diamini? Tak adakah tujuan-tujuan yang lebih mengakar pada kepentingan identitas kebudayaan masyarakat, atau katakanlah kepentingan untuk memberdayakan ekonomi kreatif masyarakat? Tapi misalkan benar mau mengenalkan orkestra pada masyarakat, mengapa konser-konser lebih banyak dipentaskan di gedung mewah dengan harga tiket selangit?

Alibi lain, dikatakan bahwa banyak negara Asia yang berhasil menunjukkan dirinya di mata dunia karena memiliki orkestra yang besar, megah, bergengsi, dan hebat. Namun, apakah hanya orkes satu-satunya medium berkesenian yang dapat menunjukkan gengsi suatu bangsa di mata dunia? Tingkat urgensi apa yang dipersoalkan dalam membela orkes secara berlebihan yang menjurus ke fanatisme dalam bermusik? Terlebih orkestra, yang notabene bukan identitas bangsa ini, tidak mampu merangkum ke-Indonesia- an dan masyarakatnya!

Pada argumen lain, orkestra lagi-lagi dikaitkan dengan urusan yang sama sekali tidak khas. Dipromosikanlah orkestra sebagai medium untuk para remaja bisa saling bekerjasama, berdisiplin, berbudaya, dan bertoleran. Bukankah kita punya gamelan, gambang kromong, saronen, randai, atau rapa’i kalau tuntutannya ’hanya’ sebatas itu?

Di Jepang, sebagai contoh yang lebih patut dilirik, musik barat dan orkestra digauli dengan lebih kontekstual dengan masyarakatnya. Pelakunya paham dengan identitas lokal mereka dan mampu menerjemahkannya dalam musik yang dikarang maupun dimainkan, sehingga warna dan semangat bermusik barat di sana sangat khas, personal, dan jauh dari ekor-mengekor.

Atau tengoklah West-Eastern Divan Orchestra, sebuah kelompok orkestra pimpinan Barenboim yang anggotanya berisikan pemuda-pemudi dari dua dunia yang bermusuhan, Yahudi dan Arab. Lewat orkes ini kita bisa sama-sama belajar, bahwa ada misi kemanusiaan yang mengakar yang diperoleh dari pemanfaatan kesenian secara bijak.

Di sini, di negeri tercinta ini, orkes dipahami sebagai ajang gagah-gagahan, misalnya pada acara 17-an, pernikahan anak konglomerat di hotel berbintang, atau gaya hidup siswa sekolah (yang katanya) internasional. Cerita lain, ada juga kelompok orkestra yang memasang tarif tinggi pada musisi yang berhasrat menjadi solois dalam suatu konser. Jadi lebih kepada hasrat berprestise dan bersolek dibanding kebutuhan kultural atau tuntutan musikal.

Dari segi penonton, orkestra pun belum mampu mengajak publik masuk dalam esensi yang sesungguhnya, tapi hanya sebatas euforia dan selebrasi semata. Pengunjung yang memenuhi gedung-gedung konser kebanyakan adalah saudara, teman, dan keluarga. Slamet Abdul Sjukur, seorang komponis Indonesia, dalam tulisannya di Kompas (5/01/2009), Musik Untuk Siapa?, menunjukkan kekhawatiran, karena gedung konser ternyata hanya dibanjiri konsumen musik yang bersifat selebritas atau halal bihalal, dari pada konsumen musik sesungguhnya.

Theodore Adorno berpendapat bahwa seni memiliki dua muatan sekaligus, yakni pengalaman estetis dan mimesis. Muatan mimesis atau kebenaran inilah yang sering diabaikan dalam aktivitas orkestra. Dalam adagium Adorno mengenai ’Seni Untuk Masyarakat’, tugas seniman adalah untuk mentransformasikan perkembangan teknis secara dialektis dan membalikkan fungsi seni dari alat-alat ideologis menjadi alat-alat kritis pembebasan manusia. Artinya, seni bersifat mesianistik, yakni membebaskan dari selimut ideologis yang membelenggu.

Dari pembacaan di atas, sudahkah orkestra di Indonesia memiliki pemahaman akan muatan seni ini? Atau musik yang harusnya menjadi mesias, ternyata hanya ditunggangi industri hiburan sebagai bahan baku komoditas yang bersifat ekslusif?

Diam-diam, mari melirik kehadiran generasi baru. Kepada mereka orang muda yang berorkes itulah, kita sekalian menitip harap. Supaya mereka yang tengah bergeliat ini menghayati sesuatu: berpikir kontekstual. (ROY THANIAGO)

Dimuat di Koran Tempo, 26 Juni 2010, dengan judul “Orkestra di Indonesia dan Berpikir Kontekstual”

sumber : http://roythaniago.wordpress.com/2010/06/27/catatan-menyoal-orkestra-di-indonesia/

Selasa, 04 Mei 2010

RIJOK ORKESTRA

oleh Alfia Inayati

Sepuluh atau lima tahun silamlah...belum pernah terbayang di benak ini...betapa perlunya merasa bangga karena tinggal dan menjadi penduduk aseli Indonesia, negara yang [katanya ramah] dan mempunyai kekayaan seni budaya tradisional sebagai konsekuensi dari keragaman suku bangsa [kalau yang ini benar belaka].

Melalui jejaring sosial di internet...saya menemukan banyak komunitas yang berdampak menjadi banyak informasi positif yang bisa saya ketahui. Seperti tempoh hari, ada pemberitahuan sebuah konser musik Rijok In Orchestra yang digelar di auditorium fakultas pertunjukan Institut Seni Indonesia [ISI] Yogyakarta. Pertama yang terbayang adalah : Rijok...??? Apaan tuh..??. Berbekal rasa penasaran, berangkatlah saya ditemani teman kos dengan naik"the most beautiful matic" nona SoleMio menuju Sewon.

Hawa dingin dan titik-titik air bekas hujan pada siang harinya yang masih menyisakan gerimis tak menghalangi semangat saya, apalagi perlu ditambahkan bahwa untuk menonton pagelaran tersebut tidak dipungut biaya alias geratis.....wow...mengapa tidak. Membayangkan menonton konser orkestra dengan musik yang lain dari biasanya. Kebetulan juga saya sedang memerlukan artikel tentang musik untuk dimuat di buletin. Wah...memang...pas betul takdir saya.

Sesampai di TKP, bergegas saya masuk untuk mendapatkan tempat duduk yang paling "dhemes" [pas]. Beruntung meski acara sudah dibuka, tapi masih ada tempat duduk yang saya maksudkan. Perkiraan saya meleset, meski tidak membuludak, namun untuk ukuran konser musik daerah, jumlah penonton bisa dibilang cukup banyak dan muda-muda pula. Semoga ini menjadi pertanda positif bahwa generasi muda makin peduli dengan budaya lokal.

Berikut ini adalah deskripsi dari Rijok yang saya kutip dari buklet :

"Dalam bahasa Indonesia, Rijok bisa diartikan sebagai pantun atau berdendang. Dalam adat suku Dayak Benuaq, Rijok digunakan sebagai mediauntuk menyampaikan pesan atau teguran kepada sesama tanpa menyinggung perasaannya secara langsung.Pada awalnya Rijok merupakan seni vokal yang memiliki arti bermacam-macam tergantung dari penyampaian sang penyanyi tersebut. Rijok bisa saja menyampakan pesan tentang kebersamaan, penindasan, kenangan, ceritra kesukaan atau kesedihan sekalipun."

Masih bersumber dari buklet, berikut saya kutip :

"Suku Dayak yang sangat kaya dan beragam akan budayanya. Tjilik Riwut membagi etnis Dayak menjadi tujuh : Dayak Kayan, Dayak Punan, Dayak Iban, Dayak Ot Danum, Dayak Klemantan, Dayak Ngaju dan Dayak Kenyah. Suku Dayak mempunyai sekitar 450 subsuku yang tersebar di seluruh Kalimantan [Ukur 1992 : 27], ada banyak versi tentang kelompok-kelompok suku tersebut.Diantara sekian banyak subsuku yang ada, terdapat Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung yang bertempat tinggal di daerah pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya di daerah Kutai Barat. Seni musik adalah potensi etnis Dayak. Banyak terdapat lagu-lagu etnis Dayak [Rijok} yang sudah dinyanyikanorang-orang Dayak sejak ratusan tahun silam. Di dalam adat istiadat suku Dayak Benuaq, seni musik memegang peranan yang sangat penting, bahkan di setiap upaca-upacara adat yang ada, musik memegang kendali berjalannya suatu upacara ritual.

Dari pembukaan konser, dijelaskan bahwa konser tersebut merupakan tugas akhir dari mahasiswa ISI bernama Gregorius Heriyanto Pemangku, mahasiswa yang menekuni minat studi komposisi.Pada malam tersebut, hadir pula kedua orang tuanya dan sang ayah memainkan seruling Dayak spesial untuk membuka konser. Mulai kagumlah saya.....meski lagunya dimainkan hanya satu seruling saja...namun melodi-melodi dari lagu tersebut mulus dimainkan tanpa terpotong oleh nafas. Sepanjang lagu yang bedurasi sekitar sepuluh menit tersebut, saya bingung memikirkan, kok ndak terputus sama sekali melodinya...lalu kanpan mengambil nafasnya..??

Setelah ayahnya tampil diawal acara, kemudian berturut-turut penampilan solo vokal dari Ika Sriwahyuningsih, membawakan Rijok dalam bentuk vokal [tentu dalam bahasa Dayak], kemudian ditutup permainan musik etnik yang full alat musik tradisional khas Dayak dimainkan dengan apik oleh Dango Uma, sebuah kelompok musik tradisional mahasiswa dari Kalimantan.

Lalu sampailah pada sesi yang saya tunggu-tunggu. Rijok In Orchestra....dimainkan oleh enam puluh lima pemain orkes yang terdiri dari mahasiswa ISI dengan conductor [semoga tidak salah tulis], Christanto Hadijaya. Komponis menulis Rijok ke dalam empat bagian.Aransemen menggunakan harmoni musik barat, meski begitu saya nyaris kesulitan menganalisa bagian-perbagian andai tidak dimainkan secara terpisah. Dalam karya ini, komponis menciptakan komposisi yang idiomnya diambil dari tema-tema Rijok, namun secara keseluruhan menggunakan medium musik instrumental barat [orkestra] yang dikombinasikan denganalat musik tradisional. Demikian pula dengan harmoninya,secara umum menggunakan teknik pengembangan komposisi musik barat. Tanpa mengurangi keindahan daripada komposis tersebut, memang ada resiko yang harus dibayar dengan pencampuran budaya seperti ini yaitu taste daripada musik etnik cenderung tersamarkan atau bahkan mungkin hilang, keculi saat alat musik tradisional memegang peranan sebagi solist.

Maka, walaupun terlihat mengada-ada, saya jadi terbayang tank top dan kebaya. Mengapa kebaya..?? Karena saya lahir dan hidup di Jawa. Lalu apa hubungannya dengan tank top..??Terbayang muda mudi sekarang yang lebih gemar menggunakan tanktop daripada kebaya.Lokal dibungkus non lokal. Saya memilih berada di tengah-tengah. Tak cukup pede memakai tanktop meski dulu pernah langsing dan saya juga tak punya koleksi kebaya. Selain hal tersebut, kultur fashion pun bergeser karena kebaya hanya dipaki pada acara-acara khusus [kebijakan kantor pun tidak menganjurkan memakai kebaya].

Meski begitu, dalam hal musik tetap berbeda. Akulturasi antara musik tradisional dan musik barat memberikan dampak positif [bagi saya pribadi] yaitu mendapatkan alternatif apresiasi musik yang tak biasa, membikin hati makin bangga bahwa ternyata Indonesia memang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Kebanggaan tersebut makin lengkap kala diberi kesempatan untuk benar-benar mendengar dan menyentuhkan kedalam rasa tanpa perlu jauh-jauh pergi ke Kalimantan [tetapi say tetap berdoa semoga diberi umur dan rizki untuk bisa mengunjungi pulau tersebut]. Saya pun mengamini ungkapkan komponis dalam kata sambutannya, bahwa ini bukan akhir, justru awal dari segalanya. Semoga generasi muda semakin arif dengan budaya lokal, aktif melestarikan sehingga bisa seimbang dengan globalisasi budaya.

* Alfia Inayati, musisi dan pengajar. Tinggal di Yogyakarta

Kamis, 29 April 2010

MEMPUBLIKASIKAN TEATER

Interview dengan David Gibs, seorang Freelance Public Relation yang juga seorang Aktor.

David Gibbs dari DARR Publicity telah menjadi Humas teater di New York selama 2 tahun terakhir. Dialah yang mempublikasikan pementasan “one Women Show”-nya Cirque Jacqueline : Behing Tha Façade of Jacki O, yang telah dimainkan di New York dan seluruh USA selama 2 tahun terakhir dengan respon kritis yang terus mengalir. Dia pernah menangani publikasi untuk teater-teater baru seperti Row Theatres, Rude Mechanical Theatre Company, The Flea Theatre, White Horse Theatre Company, The Costeau Club di The Jean Costeau Rep, Bank Street Theatre, TKO Entertainment, Double Helix Theatre Company, Queens Theatre In The Park, Crosroads Theatre, One Little Goat Theatre Company, The People’s Theatre, Titans Theatre Company, The Corcoran Gallery of Art di Washington, dan one man show paling terkenal Mercury : The Afterlife an Times of a Rock God, About Freddie Mercury. David juga pejabat publikasi untuk Andrea Reese, Aktor dan pencipta Cirque Jacqueline.

David Juga bekerja sebagai aktor, lebih dari 7 tahun ini baik di panggung, film, maupun TV. Dia adalah pemeran pembantu dalam Gasline, yang memenangkan Jury Prize di Sundance Film Festival untuk kategori film Pendek. Dia juga muncul dalam One Life to Live dan berpentas bersama Flea Theatre di 3 pertunjukan yang disutradarai Jim Simpson. David sebagai pemeran utama dalam The Uninvited Guest karya Michael Murphy di The Mint Theatre dan sebagai Paul westenberg dalam Paul Westenberg di Soho Rep di bawah arahan Carl Forsman. Ia bekerja bersama Israel Horovitz dalam The Widow’s Blind date. Sebagai seorang drummer professional, David bekerja bersama The Rembrandts dan beberapa anggota Gun’s N Roses serta Matthew Sweet band

Bagaimana kamu bisa terlibat dalam dunia publikasi dan apa yang kamu suka di situ?

Saya sebenarnya terlibat dalam dunia Public Relation beberapa tahun lalu ketika jadi drummer di sebuah band Rock n Roll dan saya bertugas mengirimkan press Release, memburu peluang wawancara di radio, dan mencari cara agar ada artikel tentang kami yang muncul di Koran dan Majalah. Menangani Public Relation selalu saya nikmati meski sering gagal. Kemudian aku terlibat di dunia Publikasi teater setelah mencoba menangani publikasi one woman show-nya Jackie O. Nah, setelah kesuksesan Jackie O, tiba-tiba banyak orang manawari saya jadi PR untuk proyek mereka.
Pada dasarnya saya suka proses kerja PR. Sangat menyenangkan buat saya. Setiap pertunjukan pasti baru dan menarik. Saya sangat menikmati ketika mengunjungi pertunjukan, menulis di media atau mengadakan jumpa pers, bertemu orang lain, berkolaborasi dengan orang dan menemukan “poin” penting pertunjukan dan banyak hal, membuat klien senang karena membuat mereka muncul di Koran dan majalah, radio atau TV dan internet.

Apa Job deskripsimu dalam jabatan PR?

Pekerjaanku adalah menghasilkan artikel dan review (ulasan) tentang klien dan proyek yang sedang ia kerjakan dan mencari kesempatan untuk memasukkan nama klien di daftar apapun yang memungkinkan. Aku juga akan mengontak radio, TV, dan situs internet.

Apa bedanya pekerjaan Public Relation dan Advertising?

Membutuhkan banyak biaya untuk iklan. Tetapi jika seseorang menulis artikel tentang kamu, ini kan publikasi gratis! Semua orang selalu mencari sesuatu yang menarik untuk ditulis dan tugasku adalah meyakinkan mereka untuk memuat proyek Anda. Dan lagi, PR itu lebih berharga karena PR itu menulis tentang Anda dan berlawanan dengan iklan yang harus membayar, semua orang tahu itu. Itu yang membuat PR itu lebih spesial. Itu berarti media telah menunjukkan ketertarikan terhadap proyekmu, itu akan membuat masyarakat mencatatnya.

Apa pentingnya Aktor atau pertunjukkan menggunakan jasa PR?

PR membangun kredibilitas kelompok teater atau aktor. Semakin banyak orang membaca tentang pekerjaan kita yang bagus, semakin laris kita dan semakin menanjak karir kita dengan mudah.

Bisa kamu gambarkan proses yang kamu lalui ketika mempromosikan sebuah pertunjukan?

Aku biasa memulai dengan pertemuan pertama dan meminta catatan press release atau liputan pers terdahulu (jika ada). Aku akan mengunakan kutipan yang paling bagus dan bahan dari catatan sebelumnya itu untuk mempromosikan pertunjukan terbaru. Aku juga meminta penjelasan tentang hal-hal mendasar mengenai pertunjukan terbaru itu dan juga tentang grup agar bisa memuatnya dalam press release. Kita diskusikan hal yang paling penting untuk diangkat dari pertunjukan itu. Aku juga menyewa penulis untuk bekerja sama membuat draft press release. Kami bekerjasama dan menemukan poin paling bagus untuk mengangkat pertunjukan. Kemudian aku bekerja sama dengan editor lain untuk memeriksa kembali dan menyempurnakan tulisan dan kami tunjukkan kepada klien sebelum kami kirim ke media cetak. Berikutnya aku menelepon, mengirim surat, email, dan fax kepada berbagai media agar mereka tertarik untuk memuat press release tersebut. Saya juga akan mencari bermacam kemungkinan untuk mempromosikan secara maksimal.

Apa saja peralatan penting bagi sebuah promo, dan bagaimana kita memastikan bahwa media promo kita kelihatan professional?

Kupikir, media yang palig bagus adalah kutipan dari liputan press yang bernada positif dari pementasan terdahulu yang melibatkannya. Juga bisa digunakan sesuatu yang lebih melek teknologi, misalnya DVD yang berisi cuplikan pentas terdahulu atau cuplikan adegan dalam proses latihan. Buatlah dengan rapi baik itu secara fisik maupun editingnya. Oh, ya, sepele tapi penting, jika ada tulisan entah itu sekedar judul di keeping CD, atau bahkan press release, usahakan benar-benar diedit dengan teliti. Jangan ada huruf salah ketik atau salah cetak.

Bagaimana dengan “press kit”, seperti apa dan apa saja yang termasuk di dalamnya?

Sebuah Press Kit adalah satu paket map yang isinya segala informasi tentang pertunjukan. Usahakan rapi, bersih, dan berisi uraian yang singkat dan padat mengenai pertunjukan ataupun mengenai grup. Juga bisa ditambahkan artikel atau liputan dari media massa terhadap pementasan terdahulu dari grup yang bersangkutan atau dari person yang bersangkutan yang berpengaruh besar dalam proyek sekarang. Foto close up pemain bisa digunakan tapi tidak begitu penting. Kecuali jika kamu juga melebarkan fungsimu sebagai agen bagi aktor atau seniman lainnya

Apakah Press Kit elektronik juga penting? Jika ya, seperti apa saja?

Saya nggak pake press kit elektronik. Aku Cuma pake email untuk mengirim informasi dan beberapa foto yang dibutuhkan klienku. Jika ada permintaan lain, baru aku akan bikinkan paket Press kit lain seperti yang dibutuhkan.

Kapan sih, aktor atau kelompok teater harus mulai mempromosikan pertunjukannya yang akan datang?

Sebagian besar promosi harus dilakukan sejak 2 bulan sebelum pentas sampai malam terakhir menjelang pementasan. Sebagai seorang Publisis, saya tahu jalan terbaik untuk mendapatkan person-person yang penting untuk promosi entah dengan surat, brosur, email ataupun fax dan sms. Dan juga publisis harus menghubungi majalah bulanan atau sejenisnya. Promosi bisa saja dilakukan sejak 4 atau 5 bulan sebelumnya. Berarti majalah bulanan punya space untuk empat kali promosi di situ. Jadi persiapkan dengan baik dan cari kesempatan promosi sebanyak mungkin.

Mendapat kutipan atau ulasan dari tokoh atau media terkenal sepertinya cukup esensial untuk mempromosikan pertunjukan atau artis-artisnya. Jalan terbaik apakah yang bisa ditempuh supaya dapat ulasan dari New York Times?

Hal pertama, dan ini paling penting, cari orang untuk Press Representative yang paling Anda percaya. Saya berada di dua sisi karena juga sebagai aktor. Sejujurnya, menurut saya banyak perusahaan Publik Relation yang menangani terlalu banyak klien. Saya biasa menangani 1 proyek sekitar 2 bulan. Sungguh tidak mungkin seorang Public Relation mengangkat citra pertunjukan Anda jika ia juga sedang mengangkat tujuh pertunjukan lainnya. Kamu bisa jadi ditipu dalam hal release. Itu harus digarisbawahi. Press representative harus jatuh cinta pada pertunjukan kita. Kemudian dia akan berjuang melakukan tugasnya dengan baik. Press representative akan tahu siapa orang di media yang akan tertarik dengan jenis pertunjukan kita.
Juga carilah waktu kapan grup-grup besar tidak melakukan pementasan. Di New York pada bulan-bulan tertentu di musim panas grup-grup raksasa selalu menggelar pertunjukan. Ini akan menyita ruang di media cetak sehingga grup kecil tidak kebagian space. Ini memang sangat sulit diprediksi karena grup besar pun akan berpikir demikian, mencari waktu yang pesaingnya sedikit.

Bagaimana caranya supaya kalangan industri (agen artis, casting director, produser dsb) melirik pertunjukan kita?

Nah, ini seperti teka-teki buat saya. Menurut Anda, mungkin dengan publikasi media yang gencar mereka pasti datang menonton, padahal tidak selalu begitu. Saya percaya bahwa pertunjukan dengan jumlah pemain besar (kolosal) punya lebih banyak peluang untuk itu. Saya bekerja dengan klien yang memiliki liputan bagus di mata New York Times, The New Yorker, Time Out New York, Village Voice, New York Post, dan sebagainya, dan tetap menemui kesulitan untuk memancing para produser atau casting director ataupun agen-agen untuk datang. Belum bisa.
Juga, saya bekerja bersama aktor di mana ia pernah jadi pemeran utama di Flea Theatre yang sudah menjadi langganan liputan New York Times, Village Voice dsb. Dan dia tetap belum bisa memancing agen-agen datang. Kalo tidak salah dia sudah mengundang sekitar seratus agen dan tak ada satupun yang datang. Gila kan? Dan dia lalu ngomel di Koran-koran besar. Coba, gimana itu dijelaskan? Dan dia sudah seringkali main di film sama Harrison Ford melalui seorang casting director yang menarik dia terjun ke panggung.
Saranku, jadilah agen bagi diri kita sendiri. Undanglah para casting director, jangan agen. Casting director lebih berharga. Mereka bisa langsung memberi kita peran di pertunjukan lain. Agen kan cuma memberi kita jalur audisi padahal kita bisa cari sendiri informasi audisi-audisi dan mendaftar atas nama sendiri, ya kan?

E-mail, surat dan flyer serta kartu pos adalah cara paling banyak dipakai untuk promo. Apakah ini memang efektif untuk mengundang penonton?

Bagaimanapun, ini akan membantu. Cara-cara iu penting karena menurutku kelihatan nggak professional kalo kita nggak punya itu. Kecuali, jika kita punya seseorang yang benar-benar tahu tentang kita dan membuat jaringan yang solid, apa kemungkinan terbesar yang bisa mereka lakukan? Jangan bertaruh terlalu banyak lewat flyer atau brosur. Bikin dalam jumlah sedikit saja, misalnya seribu sudah cukup. Kecuali Anda memang sedang merencanakan untuk memperpanjang pertunjukan selama beberapa minggu yang lama. Cari tempat-tempat yang terpercaya untuk memesan kartu pos atau brosur.

Apakah tidak masalah menghubungi media atau kalangan industri melalui telpon untuk menginformasikan pertunjukan kita? Atau ada protokol khusus untuk kontak via telpon?

Menurutku baik-baik saja menelepon sebagai folIow up terhadap surat atau email yang sudah lebih dulu kita kirimkan. Pokoknya segalanya harus ringkas, jelas dan professional. Jangan bikin hubungan telpon pribadi dan pendek. Mereka sangat sibuk kan? Semakin lama dan semakin banyak kita menelepon dia, dia semakin tahu kita dan akhirnya dia akan memberi kita waktu semakin banyak. Kupikir kuncinya untuk mendapat respon mereka adalah tingkat kepentingan menghubungi mereka hanya dalam proyek-proyek terbesar kita saja. Kalo nggak proyek besar, sulit merayu mereka. Tapi jangan membuat mereka terlalu bising dengan panggilanmu. Mereka bisa menyumpah untuk mencatat kita dalam daftar hitam mereka.

Apakah kamu melihat adanya kesalahan umum pada para aktor dalam mempromosikan diri mereka atau pertunjukan mereka?

Jujurlah soal level dan profesionalisme orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan. Jangan mengundang kalangan industri kalo memang pertunjukan kita tidak istimewa. Atau akibatnya mereka akan merasa membuang waktu dengan menonton pertunjukan jelek kita. Kelihatannya mereka kasar, tapi memang begitulah. Dan jangan terlalu ambisius. Orang-orang dapat informasi dan mereka pasti akan datang jika punya waktu dan merasa bahwa pertunjukan kita itu bermanfaat.

Dapatklah kamu berikan ide kreatif lain dalam mempromosikan diri di mana para aktor sering melewatkannya?

Temukan sesuatu yang unik tentang dirimu sendiri atau pertunjukan yang melibatkan kita itu. Saya pernah beli wig goovy, lalu berfoto dan melamar pertunjukan dengan foto itu dan nama baru, diterima. Padahal saya tak akan diterima jika dengan penampilan normal yang wajar. Melakukan pertunjukan mono play, juga cara bagus untuk mempromosikan aktor.
Kupikir sangat penting bagi aktor untuk terus memberdayakan dirinya. Bikin pertunjukan monoplay, bikin grup baru, menulis naskah, bikin film sendiri. Ciptakan kesibukan sendiri. Gunakan semua ketrampilan tambahan untuk mendukung karir. Jangan menunggu orang lain memberimu panduan. Kecuali kalo kamu anaknya Dustin Hoffman. Milikilah selera humor dalam bisnis kayak gini. Ini memang gila, tapi jangan sampai kamu yang gila.

Sumber : www.aact.org. Alih bahasa oleh M. Ahmad Jalidu

Senin, 26 April 2010

YANG KU PUNYA YANG KU SUKA

Teater yang cuma hobi.

M. Ahmad Jalidu.

** dimuat di Majalah Skana Edisi 3/2007

Awal 2006, Mahesa Arie menulis novel Ken Dedes, Im in Love dengan gaya komedi. Memang komedinya “jadul”. Kalo saja para intelek yang membaca pasti geregeten, muak dan berkomentar “Asu! Nggatheli tenan iki!” Tapi, sorry, ini memang konsumsi remaja, “teenlit, Bo!”. Bukan cuma para intelek yang butuh bacaan. Novel ini tidak menawarkan sudut pandang baru selain gaya penyampaian cerita yang waton lucu dan waton fantastis sesuka penulisnya. “Kowe isa ra mentaske novelku?” Pertanyaan Mahesa itu menjadi awal proses GMT 2006, setelah baru saja saya menyutradarai Haloo… Ada Cinta di Sini?, (adaptasi film Moulin Rouge) bersama Kelompok Sekrup, Maret 2006.

Saya baca novel itu, penuh canda. Sementara, di lingkungan saya (GMT), canda yang nggatheli sering muncul setiap hari. Makanya model komedi Mahesa Arie ini terasa nggak asing. Lingkungan pergaulan kami (di mana GMT akan menyerap para penikmat) sepertinya juga nggak akan keberatan. Mereka rata-rata juga suka komedi, suka musik easy listening dan suka cerita apapun asal ringan dan fresh… Nah, saya nggak perlu repot-repot menafsir Waiting For Godot atau naskah “berat” lainnya.. Cukup novelnya Mahesa yang kelewat slengekan itu.

Saya terusik. Kenapa Ken Dedes di kisah itu bersinar “anunya”? Kenapa bukan matanya? Atau rambutnya (kaya iklan sampoo kali). Itu cahaya dari rahim suci. Oke bisa jadi. Tapi jangan-jangan itu sekedar pengaruh cara pandang terhadap wanita sebagai objek seks. Lagian, tanpa sinarpun saya akan merem melek ngeliat anunya cewek cakep dan seksi kan? Mungkin, wanita dipandang dari fungsi seksualnya, hingga wanita berkualitas digambarkan sebagai wanita dengan alat seksual yang bagus dan mengkilap. Pandangan itu sampe sekarang masih ternyata. Cowok-cowok menilai cewek dari kulitnya, mode bajunya, bentuk pinggul dan dadanya dsb. Sering juga ada kasus cewek cantik dan seksi jadi rebutan cowok-cowok. Ada yang sampai duel segala. Itu malah pernah saya saksikan di lingkungan saya sendiri.

Saya membayangkan bagaimana perasaan Ken Dedes. Dia cantik dan seksi. Pasti bersyukur awalnya, tapi berikutnya, dia dinikah paksa oleh Tunggul Ametung. Lalu direbut Ken Arok, jadi permaisuri dan tak lama kemudian semua keluarga yang ia sayangi saling bunuh. Ken Dedes pasti cenderung menyesali anugerahnya itu. “Sedih banget, tau!” kata Apriyanti mengomentari tokoh yang ia perankan itu. Finally, saya tulis naskah berdasarkan novel itu. Oke, saya mulai bekerja.

Judulnya berubah, The Light of Ken Dedes. Saya kumpulkan pemain, lalu bikin tim produksi dsb. Tentukan tempat pementasan. LIP yang dipilih (alasanya? Rahasia! Hahaha…). Karena gedungnya mungil, maka set nggak usah lengkap (lagian juga nggak ada dananya! kakakakak…) Di sana tidak ada side wing, kami pakai model terbuka di mana penonton bisa melihat persiapan para aktor menunggu giliran di tepi panggung. Ini lebih dulu dipakai Gardanalla lewat Ah Kamu (2004), lalu kami contoh sejak pementasan pertama GMT, Panggil Aku Aziza (2005). Kok gak berubah? Kok gitu-gitu terus? Biar ngirit! Hehehehe… Apa salahnya kalo saya masih seneng yang gitu-gitu.

Model pertunjukannya? Ya jelas musikal! Ada acting, ada lagu, dan kalau perlu penari. Model musikal ini saya kenal di Sanggar Gardanalla dulu. Saya jadi figuran di Perkawinan Figaro (2000) dan Sampek Engtay (2000), dua-duanya naskah Riantiarno dan disutradarai Joned Suryatmoko (They’re the best). Saya langsung suka pada pola-pola naskah Riantiarno, ndhagel, gaya bahasa lisan yang santai dan cair, juga musik dan lagu-lagu yang enak di kuping. Lalu saya belajar menyutradarai di Kelompok SEKRUP FMIPA UNY. Saya mengadaptasi Akal Bulus Scapin-nya Molierre, dan mementaskan dengan gaya musikal. Berikutnya saya terobsesi naskah Riantiarno. Saya memainkan Semar Gugat (sebagai aktor) 2003 dan Kala (sutradara) 2004. Tahun 2005 bersama beberapa teman mendirikan kelompok baru Gamblank Musikal Teater (GMT).

Pemilihan model musikal di GMT (juga waktu di Sekrup) karena kami tersusun dari pehobi teater dan pehobi musik (ada juga yang bingung hobinya apa). Maka sandiwara musikal menjadi tepat sebagai solusi memfasilitasi semua minat. Lagipula, setelah Gardanalla mengembangkan realisme development-nya, tak ada kelompok yang mengambil gaya musikal di Jogja. Yang jelas, di GMT, ada aktornya dan ada penampilan lagu-lagu dan kalo ada yang pengen nari, kasih aja tarian mengiringi lagu. Simple kan? Visinya adalah pertunjukan yang sedikit “different” di banding lainnya (di Jogja) tanpa harus memaksakan diri. Apa yang ku punya, apa yang ku suka. Realis(me)tis.

Kerja Penyutradaraan
Saya tidak punya pendidikan formal di teater. Tak ada kursus penyutradaraan. Cuma baca ini-itu, tanya sana-sini. Saya malah kursus ELAC (Everyday Life Acting Course) binaan Teater Gardanalla (2005). Buat pengetahuan aja, sekalian bekal sapa tahu bisa pacaran sama aktris sinetron, biar bisa nyambung ngobrolnya heheheh… Teknik Penyutradaraan saya hanya berdasar apa yang saya alami ketika saya belajar sebagai pemain. Memang cenderung tidak sistematik. Tidak ada tahap macem-macem. Yang ada hanya menghapal naskah, menyusun bloking bareng-bareng. Bedah naskah dan detil adegan digarap sambil jalan. Banyak ruang untuk terus improve adegan sampai hari H. Musik saya pasrahkan ke tim musik, terserah mau jadi lagu kayak apa. Begitu juga tarian, kostum dan tata panggung. Pegangannya itu tadi, apa yang kita punya apa yang kita suka.

Rumus kerjanya bekerja dengan cinta (selalu jatuh cinta sama pemain ceweknya hahaha…). Tapi bener kok, saya menyutradarai dengan modal menyayangi semua pendukung pertunjukan. Saya hanya tahu bahwa sutradara adalah pusat orientasi semua bagian tim kerja. Harus tampil sebagai tiang, sebagai guru, sekaligus ayah para aktor. Menangis dan tersenyum di kamar belakang panggung. Kalau aktor saya main bagus, mereka yang diajak foto dan dimintain tanda tangan. Tapi kalo aktor main jelek, saya yang diejek. Andai proses adalah perang, sutradara adalah panglima seperti Pak Dirman, meski sakit harus tetap terjun ke medan laga, menyalakan semangat para serdadu. Andai ada yang harus tertembak, sutradara harus yang pertama tertembak, tetapi jika ada yang harus jatuh, sutradara harus yang paling akhir jatuhnya karena ia harus menyelamatkan setiap ada yang jatuh. Nampak heroik sekali kan? hahahaha… Amin!

Tapi minta ampun susahnya menyatukan banyak kepala dalam satu visi. Apalagi teater memang bukan orientasi utama mereka. Saya harus menghormati. Saya mengalah meski sedikit nggonduk. Saya harus selalu sadar, bahwa teater bagi kami (GMT) adalah hobi. Seperti para pebulutangkis kampung Samirono. Tak ada cita-cita menjadi Juara Thomas Cup. Tetapi kalo seminggu nggak main bulutangkis rasanya badan pegel dan hidup terasa nggak lengkap. Begitulah teater kami. Dirindukan tapi sering kalah oleh prioritas kerja lain. Ketika nggarap Ken Dedes inipun Ape (Ken Dedes) nyambi mengerjakan skripsi, Alex (Ken Arok) nyambi kursus Actor Studio Garasi yang jadwalnya padet dan nggak boleh bolos. Agung (penata gerak) sibuk sebagai dosen di UNY dan menemani istri semata wayang yang sedang mengandung. Bolu (Penata Musik) yang guru Biologi SMP itu kadang meninggalkan latihan karena dapat job musik di tempat lain. Saya sendiri sering harus ke luar kota beberapa hari atas perintah atasan di kantor. Jadwal latihanpun sering kacau. Tapi saya harus berani mengalah dan lapang dada. Enjoy aja.
Kembali ke penggarapan adegan. Tanpa menggagas kekinian atau bukan, saya berusaha untuk menampilkan gerak-gerik yang wajar pada permainan para aktor. Saya sendiri tidak nyaman ketika menonton teater dengan gaya berlebihan yang kaku dan bahasa Indonesia jaman PKI. Saya pentas di jogja tahun 2006, ditonton oleh orang yang hidup di jogja tahun 2006, maka saya pakai bahasa jogja tahun 2006. Tak peduli meski cerita yang diangkat adalah cerita Ken Dedes yang hidup di tahun 1222 (bahasa aslinya Sanskrit kali ya? Mana kita ngerti???).

Tapi ini kan komedi? Mahesa menulis novel dengan keisengan dan hasrat guyon tinggi. Maka saya merasa sah untuk melakukan keisengan juga terhadap anyaman Mahesa. Bolu lagi suka musik country. Oke, sok aja atuh, musiknya country. Biar nyambung, saya ubah asal-usul Ken Arok. Saya jadikan ia seorang koboy Texas yang lari ke Jawa lalu berbisnis jualan kuda. Empu Gandring pun lenyap. Saya hadirkan tokoh pengganti, Mr. Gardner, seorang perakit pistol dan senapan. Pembunuhan Tunggul Ametung juga menggunakan pistol. Memang kurang ajar, membuat suguhan terasa ganjil dan tidak menyatu. Bagaimana Ken Dedes bisa bicara tentang buku nikah? Bagaimana Empu Lohgawe bisa ketemu istilah “pemuja rahasia”, “schizophrenia” dsb? Jawaban saya, saya kan tidak sedang mengajar sejarah nusantara, tetapi “menunggangi” kisah sejarah untuk bersenda gurau sembari menyodorkan cermin hidup. Supaya penonton mau bercermin (meski pada masa lalu), ya kita gunakan kaca yang seolah-olah buatan jaman sekarang.



Tentang Penonton
Sebenarnya model pertunjukan itu ada hubungannya juga dengan bagaimana kami menginginkan suasana pertunjukan dan penontonnya. Saya setuju sama Riantiarno bahwa teater berdiri atas 3 syarat. Pelaku, panggung dan penonton. So penonton itu penting. Nah penonton yang bagaimana yang kami pengen? Ya yang banyak sampai membuat tiket habis dan saya nggak nombok! GMT sendiri biasanya ditonton oleh teman-teman dari anggota yang dating atas nama persahabatan, sebagian besar remaja SMA dan mahasiswa baru. Ini memang pesta bagi masyarakat pergaulan kami kan? Tentu saja juga mengharap berbondongnya pihak lain yang belum kami kenal untuk menghabiskan tiket. Tapi memang begitu impian saya. Ditonton oleh mereka yang muda dan segar, yang bukan pelaku teater, sehingga nanti manfaat teater itu sendiri menjadi ada bagi masyarakat sekitar. Kalau teater hanya disaksikan oleh sesama pelaku, untuk apa? Toh pelaku lain juga pasti sudah paham pada nilai-nilai yang ditawarkan adegan itu? Yang terjadi akhirnya hanyalah canggih-canggihan tafsir dan olah adegan. Untuk itu saya pasti keteteran. Saya mending pentas untuk kaum muda yang tidak pernah menonton Garasi atau ujian teater ISI. Penonton yang mengangkat bahu mendengar nama-nama Stanislavsky, Grotowksy, Barba bahkan Wawan Sofwan (anggota-anggota saya juga banyak yang nggak tahu. heheheh… mereka taunya DJ Oned). Jumlah golongan ini banyak sekali dan mereka adalah potensi penjualan tiket yang hebat.

Saya mempertimbangkan apakah cerita dan tema saya menarik buat masyarakat penonton? Kalau sekiranya tidak, pasti nggak saya garap. Buat apa? Masyaratkat muda di sekitar saya (target calon penonton) adalah mereka yang awam teater dan punya banyak pilihan hiburan (band, TV, bioskop, café, dugem, sex, dan kuliah sendiri). Maka sayapun harus sedikit menyesuaikan selera dan dunia mereka.Mereka kebanyakan cewek. Misalnya tentang judul. Dunia mereka dikelilingi judul-judul berbahasa Inggris ternyata. Judul novel pop, judul artikel majalah, judul acara party, bahkan slogan-slogan produk yang mereka konsumsi (kendaraan, sepatu, kosmetik, fashion, snack dan sebagainya). Ken Dedes yang baheula itu saya ganti judulnya biar terkesan modern dan ngepop, ganti casing istilahnya. Akhirnya, pertunjukan bisa dipandang sebagai produk bisnis yang harus dipoles sedemikian rupa. Bisa juga sebatas wujud dinamika pergaulan. Mereka ulang tahun, saya diundang, disuguhi makanan dan suasana yang saya suka. Giliran saya pentas, mereka saya undang, saya mengusahakan mereka menyukai sajian saya juga. Saya pengen pertunjukan saya berkomunikasi dengan lancar terhadap lingkungan di mana kami (person-person kelompok) hidup dan bergaul.

Teater saya tak boleh melulu perenungan kritis yang berat, tetapi juga hiburan, tontonan. Semoga kami bisa menemukan vitalitas hidup lewat tersalurnya hobi tersebut. Sementara teater lebih harus terus dinamis, memikat dan berpengaruh. Kostum teater klasik di Eropa dulu konon bisa mempengaruhi kostum para bangsawan. Opera Kecoa Teater koma juga dilarang pentas karena ketakutan pemerintah akan pengaruhnya bagi pemikiran masyarakat. Tapi sekarang? Masih bersarkah pengaruhnya? Kita semua sedang mencarinya dengan cara kita masing-masing.

BERKENALAN DENGAN TEATER

BERKENALAN DENGAN TEATER



Sekilas TEATER

Sebenarnya apa itu teater? Teater berasal dari kata teatron (bhs Yunani) yang berari sebuah tempat untuk menonton pertunjukan acting untuk memuja dewa Dyonisius. Berkembang menjadi istilah bagi pertunjukan semacam di teatron. Dalam perkembangan sekarang di Indonesia teater berarti sgt luas mencakup gedung pertunjukan, pekerja (pemain dan kru) dan isi pentasnya. Atau bahkan semua jenis tontonan pangung asal mencakup tiga kekuatan pekerja, tempat, penonton, atau ada tiga unsur: bersama, saat, tempat.

Teater, dari semula upacara ritual, lalu berkembang menjadi seni pertunjukan, dan sekarang telah juga menjadi sebuah Ilmu yang dipelajari, dikembangkan, dianalisa dan terus dicari kemungkinan pembaharuannya. Teater bukan semata panggung pertunjukan, tetapi sebuah penyatuan pikir, rasa dan kehendak bersama, yang dilebur menjadi sebuah jalan pikiran bahkan jalan hidup.
Teater adalah sebuah bangunan yang tersusun dari berbagai bagian yang sama penting, seni rupa, arsitektur, dan tata artistik, seni peran, penyutradaraan, manajemen produksi, manajemen organisasi, seni musik, sosiologi, antropologi, psikologi, politik teknologi dan lain-lain, sehingga kerja sama dan kepahaman bersama adalah kunci utama dalam kerja Teater.

Mempelajarai Teater saat ini adalah hal yang lumayan membingungkan, kita masuk ke sebuah belantara yang penuh simpangan dan remang-remang, banyak ideologi, banyak aliran, banyak gaya, banyak model, dan bahkan banyak sejarah berbeda yang kadangkala saling melawan. Akan tetapi untuk menerjuni Teater, masih sangat terbuka karena semua itu masih bisa dipelajari. Untuk menjadi sorang pelaku Teater, yang harus dilakukan adalah sederhana, masuk sekolah teater, atau grup teater. Cukup!. Akan tetapi di dalamnya kita harus dan wajib mempelajari sejarah, ideologi yang ada dan segala Teori yang mendasari berbagai model teater itu. Tanpa itu mustahil kita bisa mengembangkan Teater.

Teater dpt digolongkan menjadi dua:
• Teater tradisional : wayang orang, randai, arja, longser, lenong, kethoprak dsb.
• Teater modern (barat) : teater yang kita kenal kini dengan berbagai variasi aliran dan gaya. Yang menganut konvensi barat.


TUJUAN dan PERAN TEATER

Tujuan keluar : menghibur, mempengaruhi, memberi pelajaran, memotivasi, mengajak, dan bahkan memberi kejutan atau serangan. Menurut Radhar Panca Dahana teater saat ini memiliki 3 peran.
• Mengembalikan teater sebagai upacara bersama dalam memuliakan manusia, ritual penyucian. Peristiwa teater dijadikan media untuk bercermin bersama, mencoba mencari kebenaran dan keselarasan hidup.
• A Public medium of communication, media komunikasi terhadap publik. Teater menjadi media menyampaikan gagasan, usul, protes atau bahkan sekedar tegur sapa.
• Medium dan wacana pernyataan diri para pelakunya. Memenuhi kebutuhan aktualisasi dan ekspresi bagi para pelaku untuk menemukan jati diri.

Tujuan ke dalam. Bagi para pelaku manfaat berteater bisa sangat banyak. Teater bisa melatih mengasah kepekaan dalam memaknai perilaku dan tindakan dalam kehidupan. Teater adalah juga media bersosialisasi, bekerja sama, berbagi cinta dan persaudaraan, melepas lelah dari beban-beban hidup, bahkan media mata pencaharian. Semua itu tergantung para pelaku itu sendiri. Melalui kerja Teater dapat dilatih kedisiplinan yang bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan.


KOMPONEN DALAM KERJA TEATER
Teater tidak hanya berisi aktor saja. Teater layaknya paduan suara, orkestra, band dan lain-lain dimana berdiri diatas kerjasama berbagai wujud. Sedara garis besar ada 5 unsur :
1. Penulis naskah
2. Sutradara
• Manager panggung
• Music director
• koreografer
3. Aktor
4. Penata artistik. Meliputi penata lighting, setting, kostum dan make-up.
5. Pimpinan Produksi (beberapa buku menyebut Pim. Produksi hanya sbg kaki tgn sutradara).

Penulis naskah adalah penentu konsep pertama kali. Didalam naskah Ia menorehkan Visi dan Misinya. Naskah harus punya kemungkinan pemanggungan yang tidak mendikte sehingga sutradara bisa mengembangkan imajinasi dan penafsiran yang bisa melengkapi visi dan misi yang di kehendaki penulis.

Sutradara kemudian melakukan intepretasi terhadap naskah. Dari situ sutradara membuat konsep pemanggungan meliputi banyak hal terutama visi, pilihan tema, fungsi karakter terhadap tema, lingkungan fisik panggung (setting,lighting, kostum dan make-up). Selanjutnya disampaikan kepada aktor dan penata artistik.. Tugas utama sutradara selanjutnya adalah melatih aktor agar mampu mempertunjukkan drama tersebut sesuai dengan kehendak sutradara. Sutradara juga harus terus berkomunikasi dengan semua bagian. Ia adalah pusat penentu bermutu atau tidaknya pertunjukan.

Aktor. Aktor wajib mengerahkan seluruh modalnya yaitu Tubuh (tubuh, vokal), Rasa, dan Jiwa untuk melakukan internalisasi, penghayatan dan penerapan karakter sesuai yang ada dalam naskah dan interpretasi sutradara. Tugas utama aktor di panggung adalah meyakinkan penonton bahwa yang Ia lakukan adalah benar.

Penata Artistik mengolah konsep sutradara menjadi desain nyata dan bersama-sama diterapkan pada saat pementasan. Tawar menawar pilihan bisa saja terjadi dalam interaksi, sutradara-penata artistik, dan aktor-penata artistik. Penata Artistik membawahi bagian Kostum, Make up, setting panggung segala yang berhubungan dengan tata visual panggung. Penata atistik wajib punya sense seni rupa dan arsitektur yang bagus.
4 unsur diatas adalah penyusun kehidupan panggung. Namun hidupnya Teater sebagai pertunjukan membutuhkan tangan lain yaitu Pimpinan Produksi. Beliaulah yang mengurus keuangan, pencarian tempat dan manajemen pemasarannya. Kerjanya meliputi usaha dana, pengurusan gedung pertunjukan, pengelolaan dana, publikasi, pertiketan dan sebagainya termasuk pembagian honor. Pada grup Teater Komersial, Pimpinan Produksi berhak menawar konsep sutradara untuk mendukung pemasaran pertunjukan.

Sebenarnya masih ada tokoh penting lainnya misal :
Stage Manager (manager pangung). Tugasnya adalah mempersiapkan hal-hal teknis panggung. Dari mulai tempat latihan, tempat pentas sampai pengecekan segala atribut pangung dan teknik pemasangannya. Stage manager sangat dibutuhkan bagi produksi kolosal, melibatkan banyak pemain, banyak set panggung dan banyak teknik yang membutuhkan keahlian khusus. Misal akrobatik, sulap, tarian, efek dan perubahan set selama pentas berjalan.

Music Director. Bertanggung jawab mengaransemen dan menciptakan komposisi musik iringan sesuai dengan yang dikehendaki sutradara. Idealnya musik director adalah pemain musik yang handal. Tapi tidak harus, yang penting wawasan musiknya luas. Punya naluri merasakan jiwa musik dan mampu memilah musik macam apa yang cocok dengan cerita baik dari segi suasana, jaman, warna peristiwa dsb.

Namun seperti yang ditulis dalam banyak buku drama, hanya dikelompokkan 4 unsur saja karena pimpinan produksi, stage manager dan music director dianggap perpanjangan tangan sutradara saja artinya itu semua layaknya tugas sutradara,tapi dirasa cukup penting dan sutradara kurang mampu lalu dia mengangkat pembantu untuk menanganinya.
Demikianlah, kesemua unsur itu harus bersatu visi dan secara seimbang menyumbangkan kreasinya demi sebuah pementasan yang well made play.

GAYA atau ALIRAN DALAM TEATER
Secara garis besar ada dua model atau pola penyajian teater, Realisme dan Teaterikal. Dua model utama ini kemudian diturunkan dan dikembangkan menjadi berpuluh aliran dan konsep Teater.

Realisme
Gaya Realisme dipelopori oleh Henrik Ibsen (Norwegia). Gaya ini menganut teori Aristoteles, yang dalam struktur dramatiknya hukum sebab-akibat dan azas-azas psikologi menjadi benang merah cerita. Realisme menawarkan kewajaran dan kenyataan sehari-hari. Jika klasik menampilkan keluarga istana, maka realisme menghendaki pelacur, petani, tukang jahit dan orang-orang wajar lainnya muncul di panggung. Dialog dan aktingnya pun di desain untuk mendekati kewajaran, termasuk penataan set panggung. Realisme disebut juga menyuguhkan ilusi (tipuan) kenyataan yang mampu menyeret penonton untuk turut merasakan seperti yang dialami para tokoh di atas panggung. Karenanya Realisme ini disebut realisme ilusionis atau realisme psikologis. Selain Ibsen ada lagi tokoh yang menjadi pemikir akting ralisme yaitu Konstantin Stanilavsky dan Richard Boleslavsky.

Teatrikalisme
Teatrikalisme menolak realisme. Dipelopori oleh Bertold Brecht dengan teater epicnya. Brecht menghendaki teater dengan ciri-ciri : memikat, indah sekali, penuh prestasi, penuh energi, daya kekuatan yang tinggi, dan penuh cerita humor. Brecht tidak ingin penonton larut dalam cerita karena itu membuat mereka tak bisa kritis terhadap isu/tema yang ditawarkan. Maka penonton harus diasingkan (di alienasi). Dari pendekatan acting sampai set panggung tidak boleh mendekati kewajaran. Brecht juga mengangkat tema-tema sosial seperti halnya Realisme ilusionis, maka gayanya juga disebut Realisme sosialis.
Gaya teatrikalisme lain adalah Artaudian. Dipelopori oleh Antonin Artaud. Ia menolak realisme karena remeh temeh, penuh komersialisasi, dan menjadi dangkal. Ia amat kagum pada teater tradisi di Bali. Dan teater Bali adalah teater idamannya. Ia menyebut gayanya teater kekejaman. Teater yang harus mempu menyampaikan kepada penonton bahwa bahaya dunia telah benar-benar mengancam. Artaudian menolak penjajahan sastra, jadi tak ada text tertulis. Unsur pentingnya adalah visual, dan bunyi (bukan kata) dan gerak. Sekarang banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak untuk mengeksplorasi teater tanpa kata, termasuk Jerzy Grotowsky dengan gagasan Teater miskinnya.


TEATER DI INDONESIA
Teater modern memasuki indonesia setelah masuk abad ke-20, dibawa oleh para intelektual muda indonesia saat itu. Baru setelah kemerdekaan Teater modern (dgn pola realisme) mulai benar-benar muncul.

Tahun 50-an di jakarta berdiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) oleh Asrul sani, Usmar Ismail dan kawan-kawan. Dari rahim ATNI inilah muncul pendekar-pendekar teater Indonesia antara lain Teguh Karya, Tatik Maliyati, Kasim Ahmad, Slamet Raharjo, Titi Qadarsih, N. Riantiarno dan lain-lain. Saat itu di bandung berdiri Studiklub Teater Bandung (STB) yang merupakan grup teater modern tertua di Indonesia. STB di pimpin oleh Jim Adilimas dan Suyatna Anirun. Sementara di Jogja juga berdiri Akademi seni Drama dan Film (ASDRAFI) dipimpin Sri Murtono dan RMA. Harymawan, penulis buku Dramaturgi. ASDRAFI lah yang juga pernah mendidik Putu Wijaya dan Arifin C. Noer selain WS Rendra

Meskipun sejak zaman pergerakan nasional hinga 50-60an tokoh teater indonesia asik mengeluti realisme-ilusionis dan berkiblat pada akting stanilavsky, namun tahun 60-an itulah awal perkembangan gaya lain. Tercatat Jim Lim (STB) pada 1960 di Bandung telah mementaskan “Bung Besar” dengan gaya Brechtian dan dicampur unsur teater daerah yaitu Longser. 1964 Ia melanjutkan dengan Hamlet yang disadur menjadi Jaka Tarub dan dibumbui gamelan, topeng Cirebon, dsb. Menjelang 70-an, sekembalinya Rendra dari Amerika Ia menggebrak dengan eksperimentasi Teater mini kata. Tahun 70 bahkan disebut musim semi Teater Indonesia.

Beberapa tokoh yang penting dalam perlembangan Teater di Indonesia antara lain: Teguh Karya (alm) dengan Teater Populer nya, Arifin C. Noer (Alm) dengan Teater Ketjil nya, Putu Wijaya dengan Teater Mandiri, W.S. Rendra dengan Bengkel Teater, N. Riantiarno dan Teater Koma. Suyatna Anirun (alm) dgn STB, dan banyak tokoh lainnya. Dan generasi saat ini seperti Rahman Sabur (Teater Payung Hitam Bandung), AGS. Arya Dipayana (Teater Tetas Jakarta), Didi Petet (Sena Didi Mime Jakarta), Hanindawan (Teater Gidag-Gidig Solo) dsb.

Di Jogja dewasa ini, mereka yang memperlihatkan upaya dan pencapaian yang hebat adalah Butet Kertaradjasa, Heru Kesawa Murti dan Jujuk Prabowo (Teater Gandrik), Yudi Ahmad Tadjudin (Teater Garasi), Joned Suryatmoko (Teater Gardanalla), Menthol Hartoyo (Komunitas Seni Timoho) dsb. Dalam keaktoran ada Landung Simatupang dan Whani Darmawan. Serta banyak teaterawan muda yang nampak berpotensi, termasuk (semoga) anda dan saya, amiin..

Saat ini telah banyak lembaga pendidikan dan grup teater yang aktif bergerak dan mengembangkan Teater. Akan tetapi yang lebih diperlukan adalah keikhlasan menghidupi Teater tanpa harus membunuh bagian hidup lainnya. Awas!! Ada seorang pengamat teater pernah berkata : ” Teater dalah musuh keluarga...” gak percaya?, tanya saja para pelaku dari kalangan pelajar dan mahasiswa, berapa gelintir yang di dukung berteater oleh keluarga. Mengapa? Masuklah dan anda akan tahu jawabnya.

Selamat menempuh hidup baru.

Bacaan.:

Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor. Bandung: Studiklub Teater Bandung bekerja sama dengan Taman Budaya Jawa Barat dan PT Rekamedia Multiprakarsa.
Carlson, Marvin, B.S, M.A, Ph.D. 2004. Drama And Dramatic Arts. Online encyclopedis 2004. Http://encarta.msn.com.
Carlson, Marvin, B.S, M.A, Ph.D. 2004. Theatre. Online encyclopedis 2004. Http://encarta.msn.com.
Dahana, Radhar Panca. 2001. Homo Theatricus. Magelang: yayasan Indonesia Tera.
Riantiarno, N. 2003. Menyentuh Teater. Jakarta: MU:3 Books bekerja sama dengan PT HM Sampoerna.
Sahid, Nur. 2000. Interkulturalisme dalam Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Sitorus, Eka D. 2002. The Art Of Acting. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tambayong, Yapi. 2000. Seni Akting. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Waluyo, Herman J, Prof. Dr. 2001. Drama : Teori dan pengajarannya. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.

BUKU DALAM PERKEMBANGAN SENI INDONESIA

Beberapa minggu yang lalu, melalui internet, saya mengakses situs-situs suratkabar online (aktifitas kerja membuat saya sulit untuk meluangkan waktu membaca koran setiap hari). Dari Kompas.com saya menemukan banyak artikel lama yang menarik. Salah satunya adalah tulisan Yudhi Ahmad Tajudin, Sutradara sekaligus Direktur Artistik Teater Garasi Yogyakarta. Beliau menulis tentang “Ketegangan Tubuh dan Bahasa” dalam teater. Tulisan tersebut ia sarikan dari pengalamannya berkunjung ke Festifat Teater BeSeTo (Beijing-Seoul-Tokyo) ke-11 di Tokyo pada bulan November 2004.
Sebuah paragraf di sepertiga akhir tulisan tersebut menyebutkan bahwa, Beliau (Yudhi) mengakui bahwa beberapa peserta, meski dengan kategori “sutradara muda” (Festival itu juga mengadakan diskusi meja bundar untuk menjembatani dialog sutradara muda dan tua) yang mewakili Jepang mempertunjukkan kualitas artistik dan konsep yang sempurna, meski beliau mengaku tidak “terkesan secara mendalam”. Akan tetapi kapasitas Yudhi sebagai seorang kreator teater membuat saya percaya dengan pencapaian artistik teater Jepang tersebut.

Saya tidak ingin membahas tentang teater atau bahkan festival yang di selenggarakan di Tokyo tersebut, tetapi “Jepang”nya yang membuat saya sedikit merenung. Terutama setelah saya membaca sebuah buku karya Mas’ud Chasan (pendiri Toko buku Social Agency) yang berjudul Sukses Bisnis Modal Dengkul.
Buku Mas’ud tersebut diawali dengan ceritera mengenai Shibusawa Eiichi, petani jepang anti barat yang kemudian hari menjadi perintis bisnis dan tokoh penting dalam melahirkan program Restorasi Meiji. Shibusawalah yang mengusulkan penerjemahan buku-buku barat ke dalam bahasa Jepang demi mengejar ketertinggalan Jepang terutama dalam ekonomi dan industri, yang berimbas pula pada impor budaya, yakni teater barat (modern) tentunya. Sampai sekarang, kita bisa menyaksikan perkembangan tersebut.
Lain halnya yang terjadi di Indonesia. Perkembangan seni berbasis akting, yakni Teater dan Film di Indonesia justru dibawa oleh kalangan terpelajar yang belajar di Eropa terutama Belanda, menjelang kemerdekaan. Akan tetapi hasil yang sekarang kita nikmati rupanya tak begitu “hebat”. Memang ada Rendra, Teguh Karya, Riantiarno, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Suyatna Anirun, dan sebagainya untuk menyebut para “dedengkot” Teater dan film Indonesia. Akan tetapi, sekarang? Di dunia teater memang ada Yudhi Ahmad Tajudin, Jujuk Prabowo, dan Joned Suryatmoko di Jogja, ada AGS Dipayana, Rahman Sabur dkk di Bandung dan Jakarta dan lain-lain untuk menyebut generasi sekarang. Tapi berapa jumlah mereka dibanding jumlah kelompok Taeter dan aktivisnya yang ada? Di Film apalagi. Generasi sineas 80-90an telah pensiun. Hampir seratus persen film era 2000an ke atas adalah karya “golongan muda” dan yang lebih “hebat” sekaligus mengkhawatirkan adalah, film-film itu juga bertumpu pada pesona aktor-aktris muda dengan kemampuan “standar” atau bahkan di bawahnya dan tentu saja hanya segelintir yang paham teori akting.

Memang hampir begitu keadaan seluruh bidang kehidupan di negara tercinta ini, penguasaan teori dan gagasan-gagasan sangat minim, tentu diawali oleh minat dan media belajar yang minim pula. Di Yogyakarta saja, ada sekitar seratus kelompok teater. Itu berarti jika diasumsikan setiap kelompok Teater beranggotakan 20 orang, maka ada hampir 2000 pekerja teater. Tak peduli itu teater SMA, kampus, Pesantren atau juga Teater profesional oriented. Dari jumlah itu barangkali hanya ada 50an orang yang intens belajar melalui buku dan teori-teori, pun di antaranya banyak yang “tanggung”, meskipun menyandang KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) Perguruan Tinggi seni sekalipun.
Artikel lain dari Kompas.com menyuguhkan tulisan tentang Festival Teater Realisme di Jakarta bulan Oktober 2004 lalu. Tulisan tersebut mengutip pendapat Radhar Panca Dahana, bahwa Teaterawan Indonesia belum tuntas mempelajari Realisme tetapi sudah main tubruk dengan pindah-pindah bentuk lain. Bagi saya bukan masalah pindah bentuknya itu, tetapi yang masalah adalah “belum tuntas” nya. Kenapa sampai belum tuntas?

Baiklah, saya tidak ingin berlarut-larut pada pembahasan teater. Sekian tahun sejak Taeter barat masuk Indonesia (1930-1940an) dan film (1950an) nyatanya grafik perkembangan tak begitu mulus menanjak. Berapa jumlah penonton Teater dari masa-ke masa? Toh hanya Rendra dan Riantiarno yang mampu mencapai angka ribuan untuk jumlah penonton dalam satu pertunjukannya. Kalau toh kualitas meningkat, tapi kedekatannya dengan hati masyarakat (penonton) stagnan, atau bahkan menurun, digencet oleh film, sinetron dan aneka “reality show”. Yang lebih menyedihkan adalah seperti saya sebut di atas, film dan sinetron Indonesia bertumpu pada pemain remaja, yang pasti tak mempelajari akting secara intens, apalagi teknis penggarapan film tidak menyarankan pelatihan akting yang ketat seperti dalam teater. Pun hanya segelintir awak teater yang mau membaca buku yang memang jumlahnya sedikit ini.

Jika kembali pada kasus Shibusawa Eiichi di Jepang tadi, maka nyata sudah hasil dari upaya “penerjemahan” buku-buku barat. Memang Di Indonesia pernah terbit buku akting karya Stanilavsky, juga karya Rendra. Tetapi sampai sekarang tentu sudah lenyap dari peredaran dan hanya ditemukan di kamar-kamar aktivis teater Indonesia. Beberapa buku lain yang relatif lebih muda misalnya The Art of Acting, (Eka D Sitorus-Dosen akting IKJ), Seni Akting (Japi Tambayong), Menjadi Aktor (Suyatna Anirun), Homo Theatricus (Radhar Panca Dahana), Interkulturalisme dalam Teater (Nur Sahid-ed), Jagat Teater (Bakdi Sumanto) yang itupun tak banyak lagi terlihat di toko-toko buku, juga buku Menyentuh Teater karya Riantiarno yang diterbitkan terbatas dan tidak diperdagangkan (bersama Program bimbingan anak Sampoerna). Untuk film hanya ada buku Menulis Skenario dalam 21 Hari (terjemahan) dan Menulis Skenario (karya Lokal) serta sebuah buku Mari Membuat Film dari Miles Production ( ini yang saya temukan di Toko buku Yogyakarta).

Beberapa minggu lalu sedikit angin segar dari Chairul Anwar (dosen teater ISI Yogyakarta) dengan meluncurkan bukunya: Teater: Bentuk, Gaya dan Aliran. Sebelumnya hanya terdapat sedikit singgungan tentang bentuk, gaya dan aliran teater yang termuat dalam beberapa buku, termasuk sebuah bab tulisan Saini K.M. di buku Teater Indonesia: Konsep, sejarah dan Problema. Dua tahunan lalu pula Yudhiaryani (dosen Teater ISI Yogyakarta) menterjemahkan buku-buku karya Peter Brook, dan Grotowski. Kenapa tidak banyak yang mengikuti langkah ini? Ya, sekarang sudah jaman globalisasi, tak perlu di terjemahkan, tak masalah dengan bahasa Inggris, tapi nyatanya tak ada pihak yang sengaja mengimpor buku-buku teater dan perfilman, termasuk lembaga pemerintah. Dan dari puluhan bahkan ratusan pakar teori praktisi Teater dan Film di Indonesia, berapa yang meluangkan waktu menulis buku untuk membekali perkembangan masyarakat penggiatnya?

Orang-orang sekaliber Yudhi dengan Gagasan Teater Subversif, Joned dengan konsep Realisme Alegorik, Jujuk Prabowo dan Heru Kesawa Murti dengan Teater Sampakan, Whani Dharmawan, Landung Simatupang dengan penguasaan akting realisme yang bagus, dan mereka pakar-pakar eksperimental di Bandung dan Bali, mereka yang duduk di kursi Jurusan teater ISI yogyakarta, ASDRAFI, IKJ dan berbagai STSI, juga para praktisi film nasional semacam Garin Nugroho, Christin Hakim, Rano Karno, dan kreator film indie yang beberapa telah menemukan ciri dan konsepnya sendiri, seharusnya (dan saya yakin) bisa menghasilkan buku atau menterjemahkan buku-buku dari luar negeri. Sungguh naif kita menuntut peningkatan kualitas akting, teater dan film dengan hanya bertumpu pada buku-buku itu-itu saja. Atau malah tanpa teori? (yang ini pasti lebih banyak orangnya).

Tak ada yang setuju barangkali, jika buku atau teori dinyatakan sebagai satu-satunya syarat mencapai perkembangan, tetapi saya yakin tak ada yang menolak kenyataan bahwa hampir semua cabang ilmu telah tersebar luas dan berkembang dengan adanya buku-buku. Siapa yang memberi tahu kita tentang orang bernama Stanilavsky, Anton Chekov, Artaud, Henrik Ibsen, Bertold Brecht, bahkan Sophocles, dan lain sebagainya? tentu saja buku.
Secara financial, disadari buku-buku semacam itu nanti tak akan menjanjikan profit yang cerah sehingga banyak penerbit akan menolak menerbitkannya, tapi dengan jumlah penerbit yang mencapai seratus di Yogyakarta (dan silahkan perkirakan sendiri jumlah se-Indonesia), apakah tidak ada kemungkinan menemukan penerbit yang bisa “dirayu”? Apalagi, banyak lembaga-lembaga national maupun international yang bersedia mensupport perkembangan seni di Indonesia. Dan yang pasti, ada banyak orang yang “seharusnya” mampu menghadirkan buku-buku itu di Indonesia, dengan jutaan masyarakat yang harus di ajak membaca, berkembang dan mengejar ketertinggalan seperti Jepang.
Bagi Yogyakarta, pusat pendidikan dan kelahiran banyak seniman Indonesia, mewujudkan angan seperti di atas, kenapa tidak? Marilah Dik, Mas, Mbak, Pak, Bu, teaterawan, teaterawati, dan sineas tua-muda, kita giatkan membaca, menulis dan merenda karya-karya yang gemilang.


*Maulana Ahmad Jalidu
Penggemar Teater.
Ketua Gamblank Musikal Theatre Yogyakarta, Anggota Slenk (Suka Lelangen Edining Kabudayan) Yogyakarta.

MARKETING PLUS ON THEATRE

Oleh M. Ahmad Jalidu*


Ada berbagai definisi pertunjukan teater. Dari banyak versi itu, definisi versi Riantiarno cukup sederhana tapi mengena. Riantiarno menyatakan bahwa pertunjukan teater harus memiliki 3 pilar penyangganya yakni pelaku, tempat (panggung), dan penonton. Keunikan definisi ini adalah menyebutkan adanya penonton sebagai unsur pokok dalam pertunjukan teater. Barangkali ini pula yang menjadi salah satu faktor mengapa setiap pertunjukan Teater Koma selalu sukses dari segi perolehan penonton. Bisa dipastikan mereka (Teater Koma) memang benar-benar melakukan suatu terobosan dalam penjaringan penonton. Meski ini juga melalui proses yang bertahun-tahun dan tidak langsung diraih hanya dalam satu dua kali produksi awal mereka.
Kondisi tersebut berbeda dengan suasana ruang penonton di Jogja. Jika melihat kepadatan penduduk, jumlah dan frekeuensi pertunjukan di Jogja, seharusnya Jogja juga bisa seperti itu. Namun kenyataannya, angka penonton teater dalam setiap pertunjukan di Jogja hanya berkisar 150-350 penonton per malam. Itupun hanya digelar paling lama 2 malam. Teater Garasi, di mana bisa dikatakan memimpin dinamika teater Jogja sekalipun mengaku hanya mampu meraih sekitar 500 penonton setia. Jika rata-rata pertunjukan teater di gelar selama 2 malam, itu berarti Garasi juga hanya mampu meraih 1000 penonton. Bandingkan dengan Teater Koma yang bisa bertahan selama 15 hari dengan 1000an penonton per malam.
Yang sekarang menjadi penting memang bukan pada membandingkan teater Jogja dengan Jakarta, Koma dengan Garasi atau Gandrik atau yang lainnya, tetapi adalah sebuah pertanyaan, bagaimana perolehan penonton teater di Jogja ini bisa ditingkatkan? Jika kita memilih jawaban optimis, Bisa! Muncul pertanyaan kedua, bagaimana meningkatkan perolehan penonton teater di Jogja? Jawabannya pasti beragam. Bisa jadi setiap group akan memiliki trik sendiri-sendiri.
Dalam sudut pandang manajemen produksi, teater tidak berbeda dengan produk media seperti film, berita, hiburan TV, bahkan produk konsumtif lainnya. Teater menjual tiket, mengharap konsumen yang membeli tiket, sama seperti pabrik susu mengharap masyarakat membeli susu buatannya. Namun agaknya hal ini kurang dieksplorasi oleh pakerja teater Jogja. Tidak banyak (atau bahkan tidak ada) group yang memiliki tenaga marketing dan Public Relation yang bagus. Segalanya dilakukan sambil lalu dan konvensional. Masih lebih banyak yang fokus pada pengolahan aktor dan hal-hal artistik.
Kembali kepada pertanyaan bagaimana meningkatkan perolehan penonton? Kita bisa meminjam rumus-rumus dalam dunia bisnis. Salah satunya adalah konsep marketing plus yaitu 4P : Product, Place, Price, Promotion. Empat hal inilah yag harus digodog sejak dari perencanaan produksi, proses persiapan, hingga kampanye penjualan tiket. Keempat unsur yang diwakili huruf ”P” inilah yang menentukan sebuah produk yang kita lemparkan ke masyarakat sukses diserap pasar (penonton) atau tidak. Empat P inilah fokus perhatian yang harus saling sinambung dan berada dalam ”unity” yang padat.

Product.
Dalam hal product, sebuah group perlu memikirkan produk yang akan diluncurkan. Apabila kita percaya bahwa teater adalah hal yang penting bagi masyarakat, maka kita tidak bisa mengeluarkan sembarang produk. Kita harus benar-benar paham apa dan bagaimana produk kita ini. Apa kelebihannya dan apa kekurangannya. Penting juga sedikit meneliti selera masyarakat. Bukan semata menuruti ”selera”, tetapi analisis kebutuhan. Pertunjukan model apa yang dibutuhkan (disukai) mayarakat. Tema apa yang mereka sedang butuhkan dan sebagainya. Jika memang ide pertunjukan muncul secara intuitif, tanpa didahului analisis isu yang sedang berkembang, ini masih bisa dijalankan dengan mengkaji kebutuhan masyarakat mana yang bisa dijawab oleh ide produk (pertunjukan) tersebut. Juga masyarakat yang mana yang membutuhkan atau yang akan memetik manfaatnya. Masyarakat umum? Atau sesama pelaku teater? Golongan tertentu? Apa keunggulan produk (pertunjukan) kita dibanding yang lain? Mengapa orang perlu menontonnya?

Place
Place dalam urusan teater bisa berarti tempat di mana kita memprosesnya, di mana kita akan mementaskannya, di kota mana dan di gedung apa. Lebih baik jika gedung sudah kita tentukan. Apabila gedung sudah kita tentukan, maka akan lebih mudah mencipta panggung, bloking, efek dan sebagainya. Tempat pertunjukan ini juga bisa mempengaruhi gaya yang kita pakai. Urusan tempat ini bisa berjalan dua arah. Tempat yang dipilih mempengaruhi produk, atau produk yang sudah dikonsep matang yang akan menentukan tempat mana yang cocok. Ini terlihat sepele, tapi bisa jadi membuat kerepotan jika kita asal ”tubruk”. Selain panggung, place juga perlu dipertimbangkan berkaitan dengan content pertunjukan, misalnya gaya bahasa, gaya ungkap, dan bahkan tema. Bagaimana suhu politik dan pemahaman masyarakat setempat juga perlu dipertimbangkan jika memang itu berkaitan dengan tema kita. Contohnya, pertunjukan yang mengekspose ”nudity” atau ”erotisme” di lokasi semacam pesantren, atau sebuah kampus yang religius tentu saja akan menuai masalah.

Price
Banyak kasus penentuan harga tiket di berbagai pertunjukan yang dilakukan secara asal, ikut-ikutan harga group lain atau harga kebanyakan pertunjukan pada saat yang sama. Memang banyak dasar penentuan harga ini, misalnya dengan membagi biaya produksi plus keuntungan yang ditargetkan dengan perkiraan perolehan penonton, atau dengan alasan lain misalnya saja disesuaikan dengan kemampuan calon penonton. 5 ribu untuk pelajar dan 10 ribu untuk umum. Banyak sekali pilihan penentuan harga. Yang jelas adalah penentuan ini harus mempertimbangkan kualitas produk, dan perkiraan terhadap kemampuan penonton. Jangan sampai kita diprotes karena harga terlalu mahal dengan kualitas pertunjukan biasa, atau karena terlalu mahal bagi jangkauan masyarakat.

Promotion
Apa model promosi yang umum dilakukan group teater? Poster, leaflet, iklan radio, dan press release. Hampir semua pertunjukan teater Jogja menggunakan pola tersebut. Tentu saja itu sudah cukup bagus, namun seringkali tidak menolong karena beberapa hal. Misalnya design tidak menarik, penyebaran tidak efektif tepat sasaran, informasi tidak persuasif dan lain sebagainya. Dalam manajemen bisnis produk baik barang maupun jasa, promosi adalah sebuah unsur penting dalam kampanye produk yang akan berimbas pada penjualan. Teater perlu memikirkan ini dengan baik. Jika kita sudah bisa mendefinisikan produk, menentukan tempat pertunjukan dan harga, itu berarti kita juga sudah memetakan siapa calon penonton kita. Promosi lalu dikaitkan ke sana. Jika komunitas calon penonton sudah kita tentukan, kita baru menentukan metode apa yang bisa memikat mereka, memakai media apa? Posterkah? Undangan door to door kah? Pengumuman audio melalui pengeras suara? Surat atau email? SMS? Melalui pancingan acara lain? Iklan suratkabar? Atau apa?
Setelah media kampanye promosi, baru kita tentukan materinya. Media visual misalnya, golongan masyarakat tertentu bisa jadi sensitif terhadap visual. Untuk memancing remaja usia belasan, kita akan menggunakan pola design grafis yang berbeda untuk golongan bapak-bapak. Kita bisa meniru logika iklan. Lihat saja, iklan obat. Warna kemasan dan ”tone” iklan obat anak-anak berbeda dengan obat dewasa. Warna sampul majalah wanita dewasa, berbeda dengan warna sampul majalah remaja belasan, demikian juga ornamen grafis dan font nya. Selain urusan grafis. Bagus juga untuk meniru produk-produk tertentu yang sudah punya nama. Misalnya untuk memancing ABG putri, kita bisa menggunakan warna ngejreng seperti warna kemasan pembalut yang ditujukan untuk ABG. Kita tidak perlu meragukan karena perusahaan-perusahaan produk massal seperti itu telah melakukan survey yang serius untuk menentukan warna kemasan produknya. Jadi kita bisa ndompleng hasil penelitian mereka. Selain tata grafis, bahasa juga harus kita sesuaikan. Jika pertunjukan kita untuk kalangan 30-an ke atas, maka tidak tepat menggunakan bahasa gaul remaja sebagai kalimat persuasif dalam materi promosi.
Langkah ketiga dalam urusan promosi adalah wilayah sebar dan timingnya. Misalnya saja poster, kita perlu mengkaji apakah efektif penempelan poster di pinggir-pinggir jalan? Apakah efektif penyebaran sejak H-8? Terlalu dini atau malah terlambat? Lalu perlukan menyebarkan publikasi ke seluruh kampus dan desa-desa? Atau cukup hanya di sekitar tempat sanggar kita dan sekitar gedung pertunjukan? Dan sebagainya. Intinya kita harus pertimbangkan cara paling efektif untuk meningkatkan jumlah penonton teater. Bukan berarti kita akan menurunkan derajat teater menjadi sesuatu yang semata berorientasi pasar. Justru ini akan mengangkat martabat teater. Jika capaian penonton maksimal, teater tidak perlu lagi meminta bantuan pemerintah dan berbagai NGO. Tidak perlu lagi ada aktor mengeluh karena berguling-guling selama 3 bulan tanpa dibayar dan sebagainya. Dan semakin banyak penonton teater kita, maka semakin banyak orang yang bisa mendapat manfaat dari teater. Lagipula, kembali kepada definisi, teater itu tegak di atas 3 pilar, pelaku, panggung dan penonton. Semoga sharing ide ini bisa sedikit memantik kreatifitas tak terhingga Anda. Selamat bekerja.


* M. Ahmad Jalidu. Direktur Gamblank Musikal Teater. http://teatergmt.blogspot.com

PANGGUNG CAFE : Potensi Ketahanan Seni dan Ekonomi Yogyakarta

Semangat wirausaha dan urban culture Yogyakarta, telah melahirkan suatu trend baru dalam pergaulan dan komoditas ekonomi sejak beberapa tahun terkahir. Trend ini adalah menjamurnya café dan kedai kopi. Terdapat beberapa kecenderungan yang sama pada tiap-tiap café. Biasanya mereka hanya menempati space kecil dan “make up” bangunan yang lebih memilih kesan sederhana, santai dan unik ketimbang kinclong dan eksklusif. Variasi menu yang kebanyakan juga mirip satu sama lain ini menandakan bahwa café dan kedai kopi ini telah benar-benar menjadi sebuah “trend”. Kelahiran trend ini dipicu lahirnya dua golongan yang imbang secara psikis tapi tidak secara fisik, yaitu banyak sekali kaum muda yang butuh tempat makan minum, sekaligus tempat bergaul, dan beberapa gelintir pengusaha muda yang ingin memfasilitasi kaum sebayanya. Namun, dalam perjalanannya, café telah mencatat sejarah yang lebih luas dari sekedar urusan jual beli kuliner.
Kinoki misalnya, adalah konsep kafe yang dihidupi dan menghidupi semangat komunal bagi para penggerak film indie di Yogyakarta. Ia tidak saja menjadi sebuah tempat ngobrol yang melahirkan cerita film, tetapi jauh lebih dalam lagi. Ia menjadi legenda tumbuhnya berbagai sineas Indie yang menggejala. Kedai Kebun Forum, tetap harus dicatat sebab ia juga berbentuk sebuah komplek fasilitator kebudayan yang dilengkapi dengan sebuah café. Lepas dari seberapa signifikan peran café di sana, Kedai Kebun Forum tetap bisa dianggap sebagai café yang melahirkan berbagai peristiwa kebudayaan mulai dari diskusi, pemeran seni rupa, pertunjukan teater, musik, film dan sebagainya.
Berhenti di dua titik fenomenal ini saja, terbayang betapa segar berkah yang menyertai kehadiran berpuluh-puluh café di Yogyakarta ini. Berbagai club “dugem” yang sementara sering dianggap berpotensi negative, juga harus diakui tengah terus-menerus melahirkan berbagai peristiwa kreatif mutakhir yang sangat kuat daya cengkeramnya di tengah para penggemar mereka. Semestinya ini perlu disarikan sebagai inspirasi. Sekali lagi, sungguh berkah yang segar bagi kota ini.
Melompat ke materi pertunjukan, musik adalah komoditi yang paling akrab dengan tempat-tempat itu (club dan café), sementara seni pertunjukan lainnya masih belum riuh meski sudah terjadi beberapa kali. Teater misalnya, bisa disebut sebagai jenis pertunjukan yang paling jarang muncul di luar gedung-gedung yang selama ini dianggap representative untuknya. Memang, jenis yang satu ini lebih memiliki “syariat” yang ketat dibanding yang lain. Padahal, banyak tokoh-tokoh dunia teater yang secara tegas menyatakan bahwa, panggug adalah sebuah luasan tempat apa saja yang disepakati sebagai “ruang bermain” bagi para aktor di muka sekian pasang mata penonton. Jadi, tidak harus sebuah gedung berlabel Taman Budaya, Stage XXXX, Auditorium XXX dan sebagainya. Putu Wijaya dan Nano Riantiarno, sudah secara tegas menyatakan definisi itu. Meksi hampir sebagian besar teaterawan mengamini konsep ini, tapi masih sangat sedikit yang mencoba mengamalkannya. Sampai hari ini masih terus terdengar rintih keluhan tentang minimnya fasilitas gedung yang memadai, mahalnya biaya sewa gedung teater dan sebagainya.
Kembali ke café. Agaknya, potensi ekonomi café sangat bisa dilebarkan menjadi potensi senibudaya dan pariwisata lokal. Kita bisa membaca adanya relasi jaring-jaring kebutuhan yang belum maksimal dijalinkan. Satu, ada institusi bisnis yang membutuhkan kegiatan promosi dalam memasarkan produk dan penyaluran dana CSR (Corporate Social Responsibility), ia butuh program acara, tempat dan kehadiran massa. Kedua, ada seniman yang membutuhkan ruang ekpresi bagi karya-karyanya, ia butuh tempat, support dana dan kehadiran massa. Ketiga, ada massa, yang membutuhkan hiburan dan pergaulan. Ia butuh tempat yang nyaman dan penyaji hiburan serta karya seni. Nah, ketiga relasi ini, rupanya sangat bisa dipertemukan di café, di mana cafe butuh kehadiran massa, seperti halnya perusahaan yang mempromosikan produk, lalu keduanya bekerja sama menghadirkan sebuah peristiwa kesenian sebagai ajang bertemu dengan massa.
Kesimpulannya, café, bisa menjadi pilihan yang bagus untuk sebuah program pertunjukan dan atau seni budaya lainnya yang sangat potensial. Sebab di sini akan berkumpul tiga pihak yang saling membutuhkan : penyaji, sponsor promo, dan massa atau konsumen café. Andai hal ini bisa digiatkan, maka berkah akan melimpah bagi keempat pihak yang saling menjalin ini. Bahkan, jika mau melebar ke masalah ekonomi nasional sekalipun, tetap saja ini adalah jalur yang ampuh. Sector riil adalah penyangga terkuat bagi ketahanan ekonomi nasional dari guncangan krisis financial global. Era reformasi telah membuktikannya.
Kita semua pasti yakin dan menerima, di mana sehebat-hebat semangat ekonomi adalah yang mampu menyatukan nilai spiritual, hingga muncul istilah “spiritual corporate” atau apapun istilah lainnya. Kesenian, dan bahkan kebudayaan secara umum, senantiasa memiliki nilai-nilai ini, Sedangkan café, nyata-nyata adalah sebuah wahana ekonomi bisnis. Maka mengawinkan keduanya adalah hal yang sangat masuk akal dan terberkati.
Indonesia sedang berada dalam sebuah pintu penyadaran potensi budaya bangsa. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta pun, telah menegaskan bahwa potensi pariwisata dan kebudayaan adalah peluang terpenting untuk diberdayakan. Inilah bentuk nyata pasar ekonomi creative. Jika handycraft didorong untuk diekspor, maka seni pertunjukan tidak perlu latah mengekspor diri, sebab potensi ekonomi di kawasan lokal saja masih menyisakan ruang lengang yang terus menanti keriuhan.
Semoga, seniman-seniman muda dalam berbagai sanggar dan komunitas, pengusaha-pengusaha café dan kedai kopi, juga perusahaan-perusahaan produk dan jasa tergerak untuk menggelar karya-karya seni kreatif di tempat yang tak harus mewah dan megah demi ketahanan budaya, ketahanan ekonomi dan ketahanan mental masyarakat Yogyakarta dan Indonesia. Pengusaha tersenyum, seniman ayem dan masyarakat terinspirasi.


M. Ahmad Jalidu. Aktif dalam komunitas seni GMT, SLEnK dan Sekolah Seni Jogja.